Mubadalah.id – Beberapa tahun lalu, dalam sebuah kesempatan, saya menonton sebuah film berjudul ‘Pray the Devil Back to Hell”. Film dokumenter berdurasi satu jam lima menit ini bercerita tentang perjuangan perempuan Liberia dalam menghentikan perang saudara dengan cara-cara nir-kekerasan. Dikisahkan, selama perang sipil yang terjadi di awal tahun 2000-an, sekelompok aktivis perempuan di Liberia mengajak para kaum perempuan untuk melakukan aksi massa menuntut berhentinya perang. Aksi protes tanpa kekerasan tersebut dilakukan oleh perempuan Muslim dan Kristen dengan cara berdoa dan bernyanyi.
Tak hanya itu saja, aksi mogok berhubungan seksual dengan suami sampai para suami mendukung aksi mereka dengan menghentikan aksi kekerasan dan peperangan. Aksi perempuan Liberia itu menuai hasil. Mereka mampu meyakinkan presiden Liberia untuk melakukan gencatan senjata dengan pihak Ghana, yang akhirnya menghentikan perang saudara di Afrika. Salah satu aktivis perempuan Liberia, Leymah Gbowee, bahkan meraih penghargaan Nobel Perdamaian atas usaha yang telah dilakukannya.
Setelah menonton saya mencoba merumuskan satu pesan utama yang terkandung dalam film. Ya, soal protes perempuan terhadap perang dan kekerasan. Protes di sini saya maksudkan sebagai upaya bersungguh-sungguh mereka dalam keterlibatan penyelesaian konflik berdarah dalam perang saudara. Pertanyaannya, kenapa perempuan sangat bersungguh-sungguh ingin mengakhiri kekerasan?
Protes perempuan terhadap kasus kekerasan juga pernah terjadi di zaman Rasulullah yang konteksnya hampir sama, yaitu kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang ditulis Faqihuddin Abdul Qadir dalam buku Kumpulan 60 Hadits Pemberdayaan Hak-hak Perempuan (ISIF, 2011), dari Iyas bin Abdillah bin Abdi Dzubab, Rasulullah SAW memerintah, “Janganlah memukul perempuan”. Lalu Umar r.a. memprotes, “Wahai Rasulullah, para perempuan banyak membangkang dan buruk perlakuan mereka terhadap suami mereka sejak kamu melarang (kami) memukul mereka.” Rasulullah menimpali, “(Ya sudah) pukullah.” Kemudian orang-orang kembali memukul perempuan. Kemudian datang para perempuan mengadu praktik pemukulan. Nabi kemudian berkata di pagi hari, ‘Tadi malam ada tujuh perempuan yang berkumpul mengitari keluarga Muhammad, mereka semua mengadukan praktik pemukulan. Demi Allah, kamu tidak akan mendapati mereka (yang suka memukul) sebagai orang-orang yang baik di antara mereka.” (Sunan Baihaqi).
Dalam masyarakat patriarki, perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah. Banyak pembiaran kasus kekerasan terhadap mereka. Dalam sejarah konflik dan kekerasan, bersama anak-anak, perempuan adalah kelompok yang paling rentan terimbas dampak negatifnya. Bahkan mereka menjadi target perkosaan untuk mempermalukan kelompok musuh asal perempuan. Lain itu, perempuan juga harus menyaksikan kengerian perang dengan melihat suami, anak terbunuh. Juga melihat anak mereka kelaparan dalam pengungsian. Melindungi diri, melindungi sesama perempuan dan anak-anak adalah upaya menjaga regenerasi tetap berjalan, dan kehidupan berlanjut. Karakter keibuan yang lebih dekat dengan sifat lembut, kasih dan melindungi menjadi modal mereka mengubah kekerasan menjadi situasi yang damai dan beradab.
Melihat perempuan Liberia bersatu, menyatukan tekad menghentikan kekerasan, mencegah hancurnya bangsa, semakin meyakinkan saya bahwa perempuan adalah pioner perdamaian yang tangguh. Terlebih melihat cara-cara mereka melakukan protes di bawah terik dan hujan selama beberapa bulan serta membuat pagar hidup menutup akses keluar tempat perundingan kedua pihak yang berperang sebelum disepakatinya perdamaian.