Mubadalah.id – Qiyas (menganalogikan sesuatu dengan suatu hal yang sudah ada hukumnya karena ada persamaan illat/alasan hukum) sering dijadikan dasar pelarangan perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah karena perempuan tidak boleh menjadi imam salat, maka perempuan juga tidak boleh manjadi kepala negara.
Masalah perempuan menjadi imam salat sesungguhnya masih mengandung perdebatan. Sampai sekarang masalah ini tetap berada dalam wilayah khilafiyah. Sebagian besar ulama memang tidak memperbolehkan perempuan menjadi imam shalat yang di antara makmumnya adalah laki-laki.
Namun sebagian ulama juga memperkenankan berdasarkan hadis Ummu Waraqah yang Nabi Saw perintahkan untuk mengimami anggota keluarganya, di mana anggota keluarga itu ada yang laki-laki.
Berdasarkan hadis ini Abu Tsaur, Imam al-Muzani, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan ash-Shan’ani rnemperkenankan perempuan menjadi imam shalat. (lihat Ash-Shan ‘ani, Subul al-Salam, Dar el-Fikr, Beirut, juz II h. 28, juga Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Dar el-Fikr, Beirut, juz I, h.105).
Berdasarkan hal ini dapat kita katakan bahwa melarang perempuan menjadi kepala negara berdasarkan qiyas dengan imam shalat adalah tidak tepat karena hukum asal yang menjadi rujukan analogi ternyata masih orang-orang perselisihkan.
Kalaupun qiyas dijadikan landasan, banyak hal yang dianalogikan juga tidak parallel, seperti ibadah (imam shalat) dianalogikan urusan negara (menjadi Presiden).
Padahal salah satu syarat qiyas adalah antara yang dianalogikan (fara‘) dan yang dijadikan sumber analogi (ashal) harus parallel. Dan lebih dari itu, keberadaan qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam itu sendiri masih menjadi perdebatan.
Dengan melihat kedudukan qiyas dan proses qiyas dalam masalah kepemimpinan perempuan ini. Maka dapat kita katakan bahwa qiyas tidak bisa jadi landasan yang pasti untuk menolak perempuan menjadi pemimpin tertinggi sebuah negara. []