Mubadalah.id – Setiap musim hujan, kita menyaksikan bencana banjir yang kian parah. Lahan kritis meluas, hutan yang dulu rindang kini tinggal kenangan, dan udara kota-kota besar terasa sesak di dada.
Begitu juga angka-angka kerusakan lingkungan terpampang dari berbagai pemberitaan, akan tetapi persoalan sejatinya bukan sekadar tentang berapa hektar hutan yang hilang atau berapa ton emisi karbon yang dilepaskan. Akar krisis ekologis yang kita hadapi terletak pada sesuatu yang lebih dalam, yakni cara pandang kita terhadap alam itu sendiri.
Di sinilah gagasan “reboisasi relasi” menjadi cocok dan sangat relevan untuk kita amalkan. Melalui mekanisme ini, tata pelaksanaanya tidak hanya dengan menanam pohon kembali di lahan gundul, tetapi tentang menumbuhkan ulang hubungan yang telah rusak antara manusia dan lingkungan alam. Kita perlu menanam kembali kesadaran bahwa keberadaan kita tak terpisahkan dari bumi yang kita pijak.
Cara Pandang Eksploitatif dan Akar dari Semua Masalah
Modernitas membawa kita pada pola pikir yang menjadikan alam sebagai objek yang perlu untuk kita taklukkan. Hutan terlihat sebagai sumber kayu, sungai sebagai tempat pembuangan, tanah sebagai lahan yang harus terus kita peras produktivitasnya. Hubungan yang terbangun adalah hubungan ekstraktif, yaitu ambil sebanyak-banyaknya, pakai sesuka hati, buang ketika tak berguna.
Kultur konsumsi turut memperparah keadaan. Kita terbiasa menginginkan lebih, lebih cepat, lebih murah tanpa bertanya dari mana asalnya dan ke mana perginya setelah kita selesai menggunakannya. Siklus ini menciptakan lingkaran setan yang sulit terputus, produksi massal, konsumsi berlebihan, limbah pun menumpuk.
Yang sering terlupakan, relasi timpang semacam ini melahirkan ketidakadilan ekologis. Kelompok yang paling merasakan dampak kerusakan alam justru mereka yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakan itu.
Masyarakat adat yang kehilangan tanah, perempuan desa yang harus berjalan lebih jauh untuk air bersih, nelayan yang tangkapannya menyusut karena laut tercemar dan banyak lagi. Kerusakan alam, pada akhirnya, adalah cerminan dari relasi yang tidak setara. Baik antara manusia dengan alam, maupun antara manusia dengan sesamanya.
Perspektif Islam: Kesalingan dengan Alam sebagai Fondasi
Islam menawarkan cara pandang yang berbeda. Dalam tradisi ini, manusia bukan penakluk alam, melainkan khalifah, pengelola yang diberi amanah untuk merawat bumi. Konsep khalifah sering disalahpahami sebagai lisensi eksploitasi, padahal maknanya justru kebalikannya, yakni tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan.
Al-Qur’an penuh dengan ayat yang mengajak manusia merenungkan alam sebagai tanda kebesaran Sang Pencipta. Langit, bumi, pergantian siang dan malam, hujan yang menghidupkan tanah, semua adalah undangan untuk melihat alam bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai ruang kesalingan yang penuh makna.
Nabi Muhammad saw menunjukkan etika ekologis dalam praktik keseharian, mulai dari berwudhu dengan hemat air meski di tepi sungai, melarang menyiksa hewan, bahkan menganjurkan menanam pohon untuk keberlangsungan makhluk hidup.
Perspektif ini memberi landasan spiritual bagi upaya reboisasi relasi. Ketika kita memahami bahwa hubungan kita dengan alam adalah bagian dari ibadah, maka merawat lingkungan bukan lagi beban, melainkan ekspresi keimanan.
Reboisasi Relasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Memulihkan relasi dengan alam melalui reboisasi relasi ini tidak selalu memerlukan aksi dramatis. Kita dapat memulainya dengan keputusan-keputusan kecil dalam keseharian, berupa: mengurangi sampah plastik, memilih produk lokal yang ramah lingkungan, membawa botol minum sendiri (tumbler), menanam tanaman di rumah, atau sekadar tidak membuang sampah sembarangan.
Lebih dari sekadar tindakan fisik, reboisasi relasi juga tentang membangun empati ekologis, dengan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan pada bumi akan kembali pada diri kita sendiri. Ketika kita mencemari sungai, kita mencemari sumber kehidupan kita. Ketika kita merusak hutan, kita menghilangkan paru-paru kita sendiri. Memahami keterkaitan ini adalah langkah penting menuju perubahan.
Relasi yang sehat dengan alam tidak terbangun melalui kampanye besar-besaran semata, tetapi melalui kebiasaan kecil yang kita lakukan secara konsisten. Seperti pohon yang tumbuh dari benih yang disemai, dipupuk dan dirawat sepenuh hati. Perubahan cara pandang kita mulai dari hal-hal sederhana yang dipraktikkan setiap hari, hingga akhirnya berakar kuat dan berbuah nyata.
Menghijaukan Masa Depan Dimulai dari Cara Kita Memandang
Ketika cara pandang berubah, tindakan akan mengikuti. Saat kita melihat alam sebagai mitra, bukan objek, maka kita akan memperlakukannya dengan hormat. Lalu ketika kita memahami bahwa kerusakan lingkungan adalah bentuk ketidakadilan, maka kita akan bergerak bukan hanya demi kelestarian alam, tetapi juga demi keadilan sosial.
Masa depan yang berkelanjutan tidak hanya membutuhkan hutan yang kembali lebat. Ekosistemnya membutuhkan cara berpikir kita yang memandang alam dengan kehijauan, yang mampu melihat kehidupan sebagai jalinan kesalingan.
Dan perubahan itu dimulai dari masing-masing kita, hari ini, dalam setiap pilihan kecil yang kita buat. Karena pada akhirnya, menghijaukan bumi kita mulai dengan menghijaukan hati dan pikiran kita sendiri. Mulailah dengan apa saja yang kita bisa. []










































