asMubadalah.id – Sadar atau tidak, kehidupan yang sekarang kita jalani amat banyak terpengaruh oleh dinamika dan catatan sejarah di masa lampau. Pergolakan tersebut tidak hanya mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat elit, tapi juga memberikan dampak terhadap bagaimana masyarakat berperilaku. Sayangnya, perekaman sejarah di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, dari perspektif hingga pengarsipan. Maka tulisan ini sebagai refleksi Hari Sejarah Nasional, untuk memotret perjalanan penulisan sejarah negeri ini.
Awal Mula Hari Sejarah Nasional
Menilik situasi yang ada, pada tanggal 14-18 Desember tahun 1957, muncullah inisiatif dari Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia untuk melengkapi dan memperbaiki catatan masa lalu melalui seminar sejarah nasional. Dalam empat hari, dikumpulkanlah berbagai saran dan pendapat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun sejarah nasional. Yakni dengan syarat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua ketentuan tadi mereka ambil karena selama ini banyak sekali perdebatan mengenai catatan sejarah Indonesia yang dianggap simpang siur dan tidak memiliki bukti otentik.
Tidak hanya membahas mengenai dinamika sejarah nasional yang sudah ada. Dalam agenda penting 65 tahun lalu, terbahas pula sejumlah topik yang berkenaan dengan peristiwa masa lampau yang tertulis dalam buku-buku. Di antaranya mengenai bagaimana sejarah masih tertulis dari sudut pandang pihak kolonial. Tidak memperhitungkan kerugian serta penderitaan dari wilayah dan kelompok yang mereka jajah.
Hilangnya perspektif masyarakat pribumi dalam sejarah ini kemudian berdampak pada banyak hal. Termasuk pada timbulnya inferiority complex atau perasaan lebih rendah dibandingkan kaum kulit putih. Di mana dulu penjajah menjarah kekayaan wilayah Nusantara. Argumen ini sejalan dengan apa yang Frantz Fanon sampaikan dalam bukunya “Black Skin, White Masks” (1952). Fanon melihat bahwa penjajahan selain menciptakan perilaku rendah diri juga menormalisasikan rasisme dalam komunitas internal kelompok yang terjajah.
Menyadari pentingnya perbaikan perspektif sejarah, pemerintah pusat kemudian menanggapi wacana tersebut dengan menetapkan seminar sejarah nasional pada tanggal 14 Desember. Peringatan ini dipandang sebagai tonggak upaya gerakan dekolonisasi sejarah dengan sudut pandang nasional. Harapannya, selain mengubah perspektif penulisan peristiwa masa lampau, bangsa Indonesia terdorong untuk lebih berkontribusi aktif dalam memandang negerinya sebagai subjek sejarah global. Bukan lagi objek kolonialisme. Kemudian, corak penulisan sejarah ke depannya perlu kita perkaya tidak hanya dari kacamata politik, ekonomi, dan sosial saja. Tapi juga perlu kita lihat dari aspek budaya Indonesia yang heterogen.
Isu Perempuan dalam Penulisan Sejarah
Selang 65 tahun dari penetapan sejarah nasional, apa yang para sejarawan dulu cita-citakan, kini sedikit demi sedikit mulai muncul titik terang. Meningkatnya tingkat literasi penduduk kita mendorong lebih banyak buku sejarah yang ditulis dari sudut pandang nasionalisme. Namun, ketika kita gali lebih dalam lagi. historiografi atau penulisan sejarah kita ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah lainnya. Yaitu terbatasnya perspektif perempuan dan tokoh perempuan yang mereka tampilkan.
Jika kita baca buku-buku sejarah yang ada, dominasi laki-laki masih mencolok dalam kisah heroisme perlawanan terhadap penjajah. Belum lagi menyoal peran tokoh perempuan dalam dinamika peristiwa masa lalu. Meski terdapat pahlawan perempuan yang memegang peranan sentral dalam kepemimpinan wilayah dan berkontribusi luas. Kiprah mereka tak banyak tertulis.
Selain budaya patriarki yang masih kuat, minimnya penulis sejarah dari kalangan perempuan juga menjadi persoalan. Ketika menyebutkan penulis sejarah, kita tentu lebih familiar dengan nama-nama berikut: Kuntowijoyo, Sartono Kartodirdjo hingga Nugroho Notosusanto. Tak heran catatan sejarah kita masih bersifat maskulin. Sebab, sejak tahun 1997 sampai saat ini, dari sekitar 1.700an buku sejarah Indonesia yang telah terbit ke pasaran, hanya 2 persen saja yang membahas dan menyinggung tentang perempuan.
Kajian Sejarah Perspektif Gender
Meski begitu, dalam dua dekade terakhir, kita perlu bersyukur bahwa isu perempuan dalam sejarah nasional mulai terangkat. Kini, semakin banyak tokoh perempuan yang peranannya tertulis oleh sejarawan. Dulu, RA Kartini yang selalu menjadi bintang utama. Namun kini kita mulai familiar dengan nama-nama lain seperti Dewi Sartika dan Roehana Kuddus. Di mana buku-buku perjalanan hidupnya tertulis secara menyeluruh.
Kemunculan tokoh-tokoh perempuan lain ini, bisa jadi menjadi indikator bahwa kajian sejarah dalam perspektif gender di Indonesia semakin matang, dan bisa jadi fenomena “Ibuisme Negara”, istilah yang digagas oleh Julia Suryakusuma (2011), kian pudar di mata publik.
Dan ke depan, kita tentu berharap bahwa publik lewat catatan sejarah yang ada bisa melihat perempuan sebagai makhluk yang utuh. Yakni dengan kiprah serta kontribusinya. Seperti yang Gus Dur nasihatkan semasa beliau hidup, “melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki. Sosok makhluk yang utuh. Jangan hanya melihat dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.” [] (bebarengan)