Mubadalah.id – Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ selalu kita rayakan dengan gegap gempita: ada selawat, ada doa, ada pengajian. Seperti malam ini misalnya, saat saya berada di tengah dengung banjari dan riuh maulid diba’i yang terlantunkan teman-teman santri dengan semangat dan suara yang meliuk indah. Berkutat dalam damai di tengah euforia kelahiran pemimpin agung nan tangguh. Nabi Muhammad SAW.
Tapi mari sejenak kita coba menarik garis panjang sejarah maulid. Kelahiran beliau bukan sekadar lahirnya seorang bayi Quraisy di Makkah, melainkan lahirnya seorang kritik sosial paling lantang terhadap tatanan bobrok pada masanya. Nabi lahir di tengah masyarakat yang timpang.
Masa Di mana kaum elite-nya sibuk menimbun harta, sementara budak dan rakyat kecil digilas struktur. Bayi itu kelak tumbuh menjadi manusia yang merombak sistem. Bukan sekadar bermodal sebilah pedang, tapi dengan akhlak, keberanian, dan kasih sayang.
Menjadi sangat layak jika di tengah gagap-gempita ini saya mencoba merenungi kembali refleksi maulid ini. Apa artinya kita memperingati Maulid hari ini, di tengah suasana Indonesia yang semakin brutal? Jangan-jangan Maulid hanya jadi konsumsi acara seremonial, tanpa menyentuh inti dan simbol besar di baliknya. Keberpihakan kepada yang lemah, dan kritik terhadap kekuasaan yang pongah.
Kita sedang hidup di zaman ketika perut elit tidak pernah kosong, sementara perut rakyat miskin terbiarkan sering merintih. Padahal, Nabi yang kita rayakan kelahirannya itu pernah mengikat batu di perutnya demi menahan lapar, dan ketika ditawarkan Quraisy kekayaan, jabatan, bahkan tahta, beliau menolaknya dengan tegas:
“Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan risalah ini.”
Sangat berbanding terbalik dengan petinggi hari ini. Mereka mengikat janji kosong, lalu melahap porsi rakyat di meja kekuasaan. Bagi Nabi, kebenaran lebih utama dari perutnya sendiri. Sedangkan para penguasa hari ini, melanggengkan perut dan kekuasaan sanak dan kerabat.
Lihat saja beberapa pekan terakhir. Jalanan terpenuhi suara demonstrasi 17+8, di mana mahasiswa, buruh, hingga emak-emak turun ke jalan, menuntut hak paling mendasar, menanyakan ulang keadilan dalam hidup sehari-hari.
Ada yang menjerit soal upah tak sebanding dengan harga pokok, ada yang menolak undang-undang titipan oligarki, ada pula yang berharap negara ini tidak makin dirampas dari rakyat. Ironisnya, di layar kaca, pejabat tersenyum seakan semua baik-baik saja. “Stabilitas terjaga,” kata mereka. Stabilitas siapa? Tentu stabilitas keluarga dan kroni yang rajin menjilat ludah mereka.
Demo itu bukan sekadar keramaian jalanan. Ia adalah batu kecil yang dilemparkan rakyat ke jendela kekuasaan yang semakin tebal kacanya. Tapi entah kenapa, yang duduk di sana lebih takut kaca singgasana yang retak daripada lilitan lapar perut rakyatnya.
Padahal, sejarah Nabi menunjukkan: justru suara-suara kecil itulah yang beliau dengar lebih dahulu. Jeritan para budak, tangis anak yatim, keluh fakir miskin. Di situlah beliau meletakkan dasar revolusi sosialnya.
Sejarah Maulid Tak Sebatas Nostalgia Romantis
Refleksi maulid seharusnya tak sebatas nostalgia romantis, tapi alarm kesadaran. Nabi lahir untuk menantang struktur zalim Quraisy. Beliau mengajarkan keadilan sebagai fondasi. Belajar Nabi bukan sekadar menghafal syair maulid atau merayakan nasab apaagi meributkan silsilah.
Kita belajar Nabi berarti berani menegakkan nilai kejujuran di tengah budaya dusta. Belajar Nabi berarti berpihak pada rakyat kecil, meski harus melawan arus politik yang penuh intrik. Kalau generasi muda hanya berhenti pada nostalgia dan seremonial, maka disitulah peringatan Maulid telah kehilangan rohnya.
Hari ini kita butuh keberanian moral. Kita butuh generasi yang bisa berkata: cukup sudah rakyat kecil dipermainkan. Nabi pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Tapi yang kita saksikan di negeri ini: sebaik-baik pejabat adalah yang paling pandai memanfaatkan rakyat untuk dirinya sendiri. Satir, tapi nyata.
Perlawanan Sunyi
Mari kita perlahan balik arusnya, bahwa peringatan Maulid bisa jadi momen perlawanan sunyi. Setiap kali kita membaca selawat, sejatinya kita sedang mengingat seorang manusia yang hidupnya dipersembahkan untuk umat. Setiap kali kita menyebut nama Muhammad, seharusnya kita sedang meneguhkan janji menindak ketidakadilan yang bersemayam pada tubuh-tubuh lemah penuh luka dan penindasan.
Kita tidak perlu menunggu jadi presiden untuk meneladani Nabi. Mulai dari diri kita: berani jujur meski pahit, berani sederhana meski diejek, berani berpihak pada yang lemah meski tak ditimang dalam kenyamanan. Sebab itulah esensi dakwah Nabi: mengguncang tatanan lama demi lahirnya masyarakat baru yang bermasa depan.
Maulid adalah panggilan agar kita tidak larut dalam apatisme. Bisa kita telaah dalam siluet konteks kelahirannya: Nabi lahir di tengah krisis moral, tapi beliau menjawab dengan revolusi akhlak. Hari ini kita hidup di tengah krisis kemanusiaan dan penindasan terang-terangan oleh para oligarki dan antek-anteknya.
Maka jawaban kita seharusnya bukan dengan sinis semata, melainkan dengan membangun etika sosial baru: menolak korupsi, melawan politik perut kenyang, dan menghidupkan budaya peduli.
Jangan biarkan Maulid direduksi hanya sebagai ihtifal kembang api rohani..
Mungkin inilah doa yang paling relevan di hari Maulid, “semoga Allah karuniakan kepada kita keberanian Nabi, kesabaran Nabi, dan keteguhan Nabi.” Sebab tanpa itu, kita hanya akan jadi generasi yang pandai merayakan kelahiran beliau, tapi gagal melahirkan kembali nilai-nilai beliau di tengah kehidupan bangsa.
Wallahu a’lam. []