Mubadalah.id – Bagaimana eksistensi difabel dalam media sosial ? bagaimana jurnalis menyajikan berita tentang difabel ? dan apa yang media ungkapkan tentangnya ? Mungkin 3 pertanyaan tersebut cukup merepresentasikan posisi difabel dan jurnalis era modern ini.
Difabel Dalam Media; Esensi atau Sensasi?
Media sosial sebagai pendatang baru di dunia yang mencoba terus menggeser kehidupan seseorang dari dialektika fisik ke dialektika visual. Selain itu, kehadiran media sosial juga memberikan pelbagai tantangan.
Sebagai produk media sosial, sebuah Informasi yang mulanya bersumber dari mulut ke mulut bertransformasi ke dalam layar kaca dengan massif. Tentu ini merupakan sebuah peluang sekaligus ancaman bagi representasi difabel di ruang publik.
Pengenalan dunia penyandang disabilitas ke dalam konsumsi publik telah menjadi hal lain apabila berdasarkan pandangan normalitas fisik manusia. Maka, paradigma inklusif, toleran, dan kemanusiaan menjadi pijakan utama sebelum menilai sesuatu yang relatif baru.
Oleh karena itu, menentukan esensi relasi difabel dalam media sosial mungkin bisa terjawab dengan algoritma dan konten-konten terkait yang berseliweran. Penyandang disabilitas kerap terpandang sebagai objek inspirasi yang terbiasa menempatkan difabel dalam dua kotak: korban yang perlu dikasihani, atau pahlawan super yang “mampu mengatasi keterbatasan.”
Mengupayakan Narasi Berkeadilan
Tak pelik bagi Jurnalis memilih dan memilah diksi yang tepat dan cocok saat memproduksi berita adalah hal cukup menantang. Misalnya akan meliput perihal kekerasan pada anak kecil, perempuan, dan penyandang disabilitas.
Se yakin—yakinnya, para jurnalis juga manusia yang masih memiliki rasa empati dan simpati yang amat besar. Bagaimana cara berita tentang difabel menjadi adil, narasi dan diksi apa yang akan ia tulis, dapat saya pastikan para Jurnalis sudah tamat bab ini.
Namun, juga ada jurnalis yang karitatif. Mereka menempatkan difabel sebagai objek penerima bantuan semata, bukan sebagai subjek yang memiliki suara dan agensi. Di sinilah masalah muncul: pemberitaan yang dimaksudkan sebagai “kebaikan” justru dapat mengerdilkan martabat seseorang.
Narasi yang berulang-ulang menonjolkan belas kasihan, penderitaan, atau “keterbatasan” tanpa menghadirkan konteks sosial yang lebih luas pada akhirnya hanya memperkuat stigma.
Membingkai Ulang Eksistensi Difabel di Era Digital
Dalam konteks ini, membingkai ulang bukan berarti hal yang sepele. Karena struktur yang akan direkonstruksur memaksa inovasi, kerja sama, komitmen, dan saling keterbukaan agar memikirkan pondasi awal.
Maka, media sosial akan menjadi ruang perlawanan, ia juga membuka peluang bagi teman disabilitas untuk melawan narasi dominan.
Berawal dari Hashtag seperti #DisabledAndCute, #CripTheVote, atau #AksesUntukSemua menjadi ruang bagi penyandang disabilitas untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Mereka posting selfie bukan untuk inspirasi, tapi untuk merayakan diri. Mereka berbagi cerita bukan untuk dikasihani, tapi untuk menunjukkan realitas.
Media sosial, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi alat. Dan di tangan difabel yang sadar akan kuasa narasi, alat itu bisa digunakan untuk merebut kembali cerita tentang diri mereka sendiri.
Eksistensi penyandang disabilitas seharusnya terwadahi dalam media sosial, ia dapat bebas berekspresi, memiliki ruang kreatuf yang terbuka, setiap argumennya terdengar lantang dan sebagainya.
Terlebih Jurnalisme Difabel tercipta dan berkembang pesat. Jurnalisme punya kekuatan besar untuk membentuk persepsi publik. Setiap kata yang mereka tulis, setiap foto yang mereka muat, setiap angle yang terpilih semuanya berkontribusi pada bagaimana masyarakat memandang difabel.
Difabel bukan cerita pinggiran. Mereka adalah 15% dari populasi dunia, termasuk Indonesia. Mereka adalah tetangga, rekan kerja, teman, keluarga kita semua.
Karena pada akhirnya, jurnalisme yang baik bukan tentang mencari yang “luar biasa”. Ia tentang melihat kemanusiaan yang utuh dalam setiap pribadi tanpa embel-embel, tanpa drama berlebihan, tanpa penilaian.
Cukup dengan kebenaran, rasa hormat, dan keterbukaan untuk belajar. Yang terpenting, saat suara difabel bertemu etika jurnalisme, lahirlah pemberitaan yang menegakkan keadilan bagi semua. []









































