Mubadalah.id – Malam hari, pada Jum’at, 25 November 2022 silam di Lapangan Sepak Bola Bangsri, berlangsung berbagai pagelaran kesenian masyarakat. Pertunjukan itu untuk memeriahkan perhelatan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) II di Ponpes Hasyim Asy’ari Jepara. Salah satu kesenian masyarakat Jepara, yang menarik perhatian saya, malam itu adalah penampilan dari Komunitas Tari Desa Kepuk yang membawakan Tari Memeden Gadhu.
Tari Memeden Gadhu: Pertunjukan Relasi Saling
Memeden Gadhu berangkat dari tradisi kuno para petani di Jepara. Tepatnya di Desa Kepuk, Kec. Bangsri. Saat ini, Memeden Gadhu menjadi festival tahunan masyarakat Jepara. Tradisi ini merupakan sedekah bumi masyarakat setempat, sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan yang mengeluarkan rejeki, berupa beras, dari bumi-Nya.
Layaknya pertunjukan tari tradisional Nusantara pada umumnya, yang kalau kita hayati menyimpan pesan-pesan kearifan leluhur di dalamnya. Demikian juga berlaku untuk Tari Memeden Gadhu. Di mana, salah satu pelajaran dari tari tradisional ini adalah, sebutir beras yang menjadi nasi yang kita makan, itu ada berkat kerja sama yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan.
Pada permulaan tarian, nampak para laki-laki menggarap sawah, mulai dari mencangkul tanah, menanam padi, mengusir hama dengan orang-orangan sawah, hingga memanen padi. Kemudian, masuk para perempuan dengan membawa tapis-tapis beras, untuk melanjutkan proses mengolah beras menjadi nasi yang akan mereka konsumsi. Kedua pihak melakukannya dengan gembira. Tanpa ada penindasan pihak yang satu kepada yang lain, sebab adanya kesadaran saling bekerja sama untuk menghasilkan nasi yang keduanya butuhkan.
Pertunjukan tari tradisional yang demikian, mengajarkan kalau dalam proses menghasilkan nasi, ada pembagian peran yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam kacamata Solidaritas Durkheim, sebagaimana penjelasan Emile Durkheim dalam The Division of Labour in Society, ini disebut sebagai solidaritas organik, yang merupakan relasi yang lahir dari kesadaran the division of labour (pembagian peran).
Pandangannya bahwa, tidak harus sama untuk bisa solid. Melainkan juga dengan kesadaran berbeda, sehingga saling berbagi peran sesuai kapasitas perbedaan masing-masing lah solidaritas (baca: relasi saling) dapat terwujud. Pertunjukan tarian tradisional Memeden Gadhu, sedikitnya, menggambarkan relasi saling kerja sama antara pihak laki-laki dan perempuan, dalam upaya menghasilkan nasi yang akan mereka konsumsi.
Mendekonstruksi Relasi Saling
Berdasarkan kacamata gender kekinian relasi saling sejalan dengan perspektif Mubadalah, atau konsep Mubadalah merupakan relasi saling itu sendiri. Sebagaimana Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalah menjelaskan, kalau Mubadalah merupakan sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal (berbalas-balasan).
Dalam prinsipnya, pembagian peran yang sehat itu berdasarkan relasi kerja sama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan. Jadi, bekerja sama to complete (untuk melengkapi), dan bukan to compete (untuk bersaing).
Dalam hal ini, kita perlu sadar bahwa ada peran yang ideal untuk laki-laki, dan ada peran yang ideal untuk perempuan. Dalam pertunjukan tari tradisional Memeden Gadhu, misalnya, pihak laki-laki kebagian peran menggarap sawah. Lalu pihak perempuan melanjutkan peran mengolah beras menjadi nasi. Tentu, dalam kehidupan nyata, pembagian peran ini bisa lebih cair dengan prinsip sepanjang peran yang diberikan tidak menindas pihak manapun.
Lantas, siapakah yang paling berjasa dalam peran-peran menghasilkan nasi? Jawabannya, tidak ada yang “paling” berjasa. Sebab peran itu menghendaki keadaan untuk “saling” berjasa, agar keduanya mendapatkan nasi. Jadi, relasinya bukan berdasarkan pada sifat “paling”, melainkan “saling”.
Relasi saling inilah, dan bukan relasi paling, yang sesungguhnya merupakan kearifan tradisi Nusantara. Tidak hanya kearifan tradisi masyarakat Jepara, melainkan juga merupakan kearifan tradisi masyarakat Nusantara yang secara umum memiliki tradisi gotong royong (baca: kerja sama). Kearifan relasi saling menjadi satu kata kunci menjalin gotong royong antara laki-laki dan perempuan. Yakni demi mewujudkan kehidupan yang baik dan adil bagi kedua pihak. (bebarengan)