“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya… Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, ‘Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar’…
Adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).’” (Q.S. Al-Kahfi/18: 65–81)
Mubadalah.id – Surat al-Kahfi memang sangat terkenal di kalangan umat Islam, terutama bagian yang menceritakan kisah Khidr dan Musa. Menurut hadis riwayat Imam Syafi’i, kita bahkan dianjurkan untuk membaca surat ini setidaknya seminggu sekali, setiap hari Jumat. Ahmed Souaiaia dalam ‘Contesting Justice: Women, Islam and Society’ menguraikan tentang pentingnya kisah Musa dan Khidr di dalamnya:
“Bagi umat Islam, kisah pertemuan Musa dan Khidr seperti bagian lain al-Qur’an, memiliki implikasi moral dan mungkin hukum. Ia mengajarkan dan membenarkan, ia menginstruksikan dan menyiratkan, ia memerintahkan dan mengilhami. Ini memberi penganut kenyamanan dengan mengetahui bahwa ada tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia dari tindakan mereka meskipun ia tidak dapat kita pahami.” (Souaiaia, 2008: 17)
Sayangnya, jarang kita perhatikan, terdapat kesenjangan besar dalam literatur Islam ketika menafsirkan kisah Khidr tersebut. Sebab perdebatan tentang ayat ini hanya berkutat pada masalah yang remeh-temeh, seperti apakah Khidr itu seorang nabi atau bukan. Banyak tafsir al-Qur’an tentang surat al-Kahfi tidak lebih dari sekadar memperdebatkan gelar apa yang harus kita berikan kepada sosok misterius ini. Sehingga banyak yang melewatkan masalah terpentingnya. Dilema etika dan logika yang ditunjukkan oleh perilaku Khidr.
Untuk alasan itulah mengapa buku yang berjudul ‘The Qur’anic Dilemma: A Hermeneutical Investigation of Al-Khidr’ yang saya buat review kali ini. Buku ini menyoroti problematika moral dalam perspektif Islam terhadap pemahaman umum tentang tindakan Khidr dalam surat al-Kahfi.
Dengan metode tafsir Qur’ān bi-l-Qur’ān—atau apa yang kita sebut dengan “semantic completeness of the Qur’anic language”—Abla Hasan, selaku penulis buku yang terbit pada 2023 silam ini, berfokus untuk menghubungkan kembali pesan-pesan kemanusiaan dalam al-Qur’an dengan bagian yang membingungkan dalam surat al-Kahfi.
Memahami Kisah Khidr
Hasan menunjukkan kepada pembacanya titik-titik buta umat Islam dalam memahami kisah Khidr. Ia membuktikan bagaimana pemahaman umum kita tentang kisah itu bertentangan dengan komitmen al-Qur’an dalam mempromosikan hak kebebasan beragama. Selain itu pluralisme dan hak hidup bagi setiap orang terlepas dari keyakinan mereka.
Hal ini senada dengan pendapat John Andrew Morrow dalam bukunya ‘The Messenger of Mercy: The Covenants of Coexistence from the Prophet of Pluralism’ mengenai komitmen al-Qur’an terhadap pluralisme:
“Al-Qur’an mempromosikan kebebasan beragama, hati nurani, ikatan dan kebebasan berekspresi. Ia melarang pemaksaan atau tekanan dalam beragama dan politik. Dengan kata lain, dalam Islam, Anda tidak dapat memaksa seseorang untuk percaya pada sesuatu. Islam menyerukan toleransi dan koeksistensi. Yaitu, hidup bersama dengan damai dan rukun. Islam mengakui bahwa ada kebenaran dalam tradisi agama lain dan memperlakukan Tuhan sebagai penengah dalam perbedaan teologis.” (Morrow, 2021: 95)
Lalu, apa yang Hasan maksud dengan bagian-bagian membingungkan atau dilematis dari kisah Khidr itu? Dalam surat al-Kahfi, Khidr diceritakan melakukan tindakan yang sulit—atau tidak dapat—kita benarkan karena membunuh seorang anak yang tidak bersalah.
Meskipun cerita tersebut tertutup dengan penjelasan Khidr kepada Musa mengenai alasan mengapa dia melakukan pembunuhan tersebut. Sayangnya tidak ada argumen terperinci dan logis mengenai mengapa membolehkan tindakan tersebut.
“Faktanya, tidak ada bukti apa pun di luar klaim Khidr bahwa anak itu akan tumbuh menjadi seorang kafir yang disebutkan oleh Khidr sebagai pembenaran atas apa yang dia lakukan,” tulis Hasan. Bagi banyak orang, pembenaran atas pembunuhan tersebut berasal dari adanya kontradiksi antara lahiriah (zāhir) dan batiniah (bātin), yang hanya dapat Khidr ketahui.
Pengetahuan tentang Masa Depan
Ada pula yang menafsirkan bahwa Khidr—tidak seperti Musa—tahu bahwa anak tersebut akan tumbuh menjadi kafir. Jika Musa tahu apa yang Khidr ketahui, Musa mungkin akan melakukan hal yang sama. Atau dengan mengutip Sahih Muslim, di mana Ibn Abbās pernah membalas surat Najda bin Amir al-Hururi untuk tidak membunuh anak-anak dalam perang. Kecuali katanya, “kamu mengetahui apa yang diketahui Khidr tentang anak yang dibunuhnya untuk membedakan orang beriman.” (No. 1812).
Meskipun sulit untuk menolak semua pendekatan dan interpretasi di atas, interpretasi itu tetap menyisakan serangkaian pertanyaan berikut. Apakah membunuh orang lain karena kekafirannya diizinkan dalam al-Qur’an?
Lalu apakah pengetahuan Khidr tentang masa depan dapat membenarkan pembunuhan tersebut? Apakah alasan bahwa anak itu di masa depan akan menjadi kafir dapat kita gunakan sebagai pembenaran? Bahkan sebagai penjelasan atas apa yang telah Khidr lakukan?
Lebih jauh, ketika Hasan menganalisis hadis Muslim di atas, ia menyatakan bahwa meskipun “hadis Muslim melarang pembunuhan anak muda dalam perang.” Tetapi “rujukan pada Khidr seharusnya tidak lagi relevan karena al-Kahfi tidak pernah menyebutkan situasi perang.”
Menurut Hasan, rujukan hadis yang para mufassir lakukan untuk menjustifikasi tindakan Khidr sangat mengkhawatirkan. Karena secara implisit membenarkan pembunuhan atas dasar “perbedaan” atau “kekafiran” yang menurutnya sangat bertentangan dengan semangat al-Qur’an.
Menurut Hasan, kebanyakan upaya para mufassir untuk memahami kisah itu justru semakin memperumit dilema al-Qur’an. Karena mereka percaya bahwa kemurtadan anak tersebut dapat kita jadikan sebagai pembenaran atas pembunuhannya.
Sayangnya, penjelasan “itu tidak banyak membantu dalam memecahkan dilema al-Qur’an.” Sebab menurut al-Qur’an, sebagaimana yang Hasan uraikan dalam buku ini, kemurtadan bukanlah alasan yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan hak hidupnya.
Semangat Inklusifitas al-Qur’an
Bagi Hasan, jika kita konsisten dengan semangat inklusifitas al-Qur’an, kita harus menolak pembenaran apapun atas pembunuhan anak tersebut. Sekalipun Khidr mengetahui tentang masa depannya. Ia percaya bahwa seseorang tidak akan kehilangan hak hidupnya hanya karena kemurtadan atau keimanannya.
Menurut mayoritas Muslim, kisah Khidr merupakan kasus yang dapat kita benarkan untuk melakukan pembunuhan terhadap seorang anak yang tidak bersalah. Namun, Hasan mengambil sikap ekstrem yang berseberangan.
Ia tidak percaya bahwa alasan-alasan seperti keyakinan, kepatuhan yang tak tergoyahkan dan/atau pengetahuan tentang masa depan mengenai kemurtadan seseorang dapat mencegah kita untuk mempertanyakan (atau mempersoalkan) penyimpangan mencolok kisah tersebut dari pesan kemanusiaan al-Qur’an.
Sebagai pembaca, saya kira pembacaan ini membutuhkan kehati-hatian. Terutama ketika menganalisis bagian dilematis al-Qur’an ini—dan bagian lain. Karena dilema moral yang kita kaji dalam buku ini tidak hanya bertentangan dengan bagian lain al-Qur’an tentang kesucian hidup. Tetapi juga bertentangan dengan visi al-Qur’an itu sendiri mengenai pluralisme agama, toleransi dan kebebasan beragama.
Selain itu, kisah Khidr dalam pemahaman tradisionalnya—yang menyoroti kekafiran anak itu di masa depan sebagai alasan untuk membunuhnya—cenderung mencerminkan Islam sebagai agama militan.
Kisah Khidr sebagai Mitos
Di sini, Hasan membuka kemungkinan dalam melihat kisah Khidr sebagai “mitos”. Mitos dalam pengertian Hasan adalah bahwa kisah tersebut masuk dalam persoalan etika tetapi bukan hukum—atau kisah ini dapat kita lihat sebagai metafora.
Dengan demikian, bagaimana kisah Khidr kita maknai itu “bergantung pada elemen-elemen luaran teks”, seperti mufassir. Ia bergantung pada kekuatan mufassir untuk memilih apakah memperlakukan cerita tersebut sebagai pertemuan konkrit antara dua orang nyata dan “mengenyampingkan implikasi moral atau hukum apa pun yang dapat ditimbulkan oleh kisah tersebut”, atau menyerangnya seperti yang Hasan lakukan.
Meskipun demikian—terlepas dari adanya ragam interpretasi teks yang bervariasi namun tetap masuk akal dan tidak kontradiktif dengan bagian lain dalam al-Qur’an—“ini tidak menutup kemungkinan munculnya pembacaan yang kurang masuk akal.”
Dalam buku ini, Hasan memberikan beberapa contoh dan dampak interpretasi-interpretasi yang ia anggap “kurang masuk akal dan mengkhawatirkan”. Misalnya, bagaimana interpretasi “mengkhawatirkan” tersebut turut mewarnai dan menyebarkan sikap eksklusif di kalangan Muslim, yang menampilkan al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang anti terhadap liyan.
Dalam buku ini, Hasan memberikan respon tekstual terhadap dilema yang ia ulas dengan mengusulkan analisis hermeneutika baru dari cerita Khidr tersebut. Yakni untuk menghindari kesan al-Qur’an sebagai kitab yang anti perbedaan dan militan. Interpretasi yang Hasan berikan berusaha untuk mencari jawaban tekstual al-Qur’an terhadap dilema tekstualnya sendiri dengan meminimalisir ruang bagi spekulasi-spekulasi eksternal. Untuk inilah tafsir Qur’ān bi-l-Qur’ān ia gunakan.
Dilema Moral
Al-Qur’an, seperti yang Hasan kemukakan dalam buku ini, telah memiliki semua alat yang ia butuhkan untuk memproduksi interpretasi barunya. Pada akhirnya, metodologi ini ia terapkan untuk menghindari campur tangan otoritas interpretatif mana pun yang berisiko mendekati teks dengan segala jenis kepentingan, agenda dan tujuan mereka.
Dalam buku ini, Hasan menunjukkan bagaimana al-Qur’an memecahkan dilema moral yang ia persoalkan dari kisah Khidr. Selain itu, ia juga membuktikan bagaimana al-Qur’an mengoreksi kesalahan yang terus-menerus dilakukan oleh banyak mufassir. Terutama ketika merujuk pada kemurtadan anak yang malang tersebut sebagai alasan pembunuhannya.
Kisah Khidr menggambarkan kesulitan yang Musa hadapi dalam menentukan apakah suatu tindakan baik atau jahat. Maka dari itu, seperti Musa yang berusaha untuk memahami implikasi moral dari tindakan eksentrik Khidr, buku yang hanya berjumlah 100 halaman ini juga berupaya untuk mengatasi kesulitan yang kita semua—setidaknya sebagian dari kita—alami dalam menentukan mana yang baik dan mana yang jahat.
Masalah yang Hasan teliti ini penting, bukan hanya dalam upaya untuk mendamaikan al-Qur’an dengan pesan-pesan kemanusiaan dan pluralismenya. Tetapi juga untuk memahami dengan pikiran terbuka mengapa pembunuhan anak muda dalam kisah Khidr merupakan dilema par excellence yang layak untuk kita telanjangi. []