Mubadalah.id – Baik ritual keagamaan (tabligh akbar, ziarah, istighatsah, dlsj) maupun pemikiran keislaman kritis (riset, kajian ilmiah, ghazwatul fikr, dlsj), dua-duanya tidak akan bermanfaat dan tidak akan berkah kalau hanya berhenti pada “kulit” atau “cangkang.”
Ritual keagamaan yang sebatas gerak badan saja, hanya rutinitas, dan sekadar ikut-ikutan kebanyakan orang, maka ia akan kehilangan makna. Tidak akan berdampak positif terhadap transformasi diri dan sosial. Demikian juga, pemikiran keislaman kritis. Ia sebatas hasil olah pikir, aktivitas berpikir yang kita lakukan secara berulang-ulang dan tidak berdampak pada transformasi sosial.
Lebih daripada itu, kita tidak boleh memandang sebelah mata, apabila ada ritual keagamaan yang seremonial saja. Demikian juga bagi yang senang berdiskusi, melakukan kajian ilmiah dan aktivitas keilmuan sejenisnya, dengan melibatkan banyak referensi sekali pun, tidak boleh merasa paling berhasil memaknai kehidupan ini.
Lalu harusnya seperti apa? Baik ritual keagamaan maupun pemikiran keislaman kritis, dua-duanya penting dan harus menjadi agenda utama dalam menjalani kehidupan yang tidak bisa saling menegasikan satu sama lain.
Tabligh akbar, ziarah, dan istighatsah itu bermanfaat? Sudah barang tentu bermanfaat, tuntunan dan amaliyahnya jelas. Hanya saja catatannya, kita harus bisa memaknai dari setiap ritual keagamaan tersebut. Tujuannya agar ritual tidak berhenti hanya pada ritual saja, tetapi akan mampu membangkitkan kepedulian kita pada kehidupan sosial dan meningkatkan kualitas spiritual.
Demikian juga pemikiran keislaman kritis, yang lazim dilakukan misalnya oleh para intelektual-cendekiawan Muslim, agar tidak berhenti pada aktivitas membaca, menulis dan berdiskusi, melainkan pemikiran keislaman kritis itu harus bisa bermanfaat secara konkret pada kehidupan masyarakat.
Menilik Ritual Keagamaan Warga Nahdliyyin
Agar bisa dipahami lebih mudah, kita ambil contoh ritual keagamaan yang kerap diamalkan oleh warga Nahdliyin (NU), di mana tabligh akbar, ziarah dan istighatsah ini merupakan amaliyah sehari-hari. Sekali lagi, tabligh akbar bisa terus dilaksanakan saban bulan dan tahun, tetapi pastikan agar tabligh akbar tidak sekadar seremonial, apalagi kalau berbiaya besar dan tidak berdampak pada kehidupan sosial.
Lalu apakah ada tabligh akbar yang berdampak baik pada kehidupan sosial? Ya jelas ada. Saya dan kita sekalian mesti memperkuat tabligh akbar dengan transformasi sosial.
Saya adalah seseorang yang sejak kecil menikmati tabligh akbar. Demikian sampai sekarang, malah menjadi pengisi tabligh akbar di mana-mana. Namun demikian, spirit tabligh akbar itu diimbangi dengan upaya-upaya transformasi sosial, yakni dengan menginisiasi program dan layanan untuk masyarakat.
Membuka lapangan pekerjaan melalui pengelolaan BUMDes dan Toko Wakaf, memberikan voucher kesehatan, terutama bagi para jompo yang tidak mampu, membina para pemuda agar bisa hidup kreatif dan inovatif, ada sedekah Jum’at, sedekah sembako untuk jompo, dan masih banyak lagi.
Tak ubahnya pemikiran keislaman kritis (riset, kajian ilmiah, ghazwatul fikr, dlsj) tidak boleh asik sendiri, seolah-olah kerjanya sekadar membaca dan menulis. Membaca dan menulis saja tidak cukup, demikian juga tidak hanya cukup dengan berdiskusi.
Pemikiran keislaman kritis baru bisa kita katakan bermanfaat, apabila mampu berdampak pada kehidupan sosial secara nyata. Agar lebih memudahkan dalam memahami hal ini, masih ingatkah kita berkenaan dengan klub kajian keislaman bernama Jaringan Islam Liberal alias JIL. Sepanjang perjalanan pemikiran keislaman kritis, saya bersaksi, belum ada klub kajian keislaman sekritis JIL.
Introspeksi
Tahukah nasib JIL kini bagaimana? Tamat. Para punggawanya kocar-kacir entah ke mana. Apa sebabnya? Karena JIL dan para pemikirnya terjebak pada zona nyaman, hanya asik pada aktivitas berpikir, membaca, menulis dan berdiskusi. Tidak pada transformasi sosial secara nyata.
Bagaimana bisa membumikan entrepreneurship, investasi saham, investasi uang digital, membangun kemajuan BUMDes, pertanian Desa, dan sebagainya, sangat luput dari para pemikir keislaman kritis.
Akhirnya, para penganut ritual keagamaan an sich dan para penganut pemikiran keislaman kritis an sich, harus sama-sama melakukan introspeksi. Karena hidup bermanfaat dan berkah tidak hanya bisa dilakukan dengan melakukan ritual keagamaan saja atau berpikir saja.
Kalau mau kaya ya bekerja dan berwirausaha/berbisnis. Ambil alih teknologi, pengelolaan ekonomi dunia dan sains. Jangan lagi sibuk kritis hanya pada satu sisi, sementara sisi lainnya melempem. Bagaimana? Wallahu a’lam. []