Mubadalah.id – Ruang relasi sosial merupakan salah satu antar manusia yang memiliki nafsu dan kepentingan, pasti akan ada ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, bahkan kekerasan, konflik, dan bisa meletus peperangan.
Karena itu, di dalam ruang relasi sosial Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an, juga memberi jalan untuk menyalurkan ketegangan ini.
Bahkan pada akhirnya tetap bisa menjadi pondasi untuk membangun kembali ruang persaudaraan dan kerja sama untuk peradaban kemanusiaan bersama.
Jika ada kebuntuan dalam ruang persaudaraan tersebut, lalu timbul salah paham, kekhawatiran, ketakutan, bahkan keburukan dalam hal relasi yang terus memuncak.
Maka harus diupayakan terlebih dahulu langkah-langkah diplomasi untuk menyelesaikan masalah secara baik dan bermartabat (QS. an-Nahl (16): 125).
Masing-masing pihak bisa mengajukan argumentasi dan berdebat secara baik dan bermartabat (QS. al-Ankabuut (291: 46).
Jika terus memburuk, umat Islam sudah bisa memulai untuk melakukan kerja memata-matai lawan (QS. ath-Thuur (52): 31). Mewaspadai dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang terburuk (QS. an-Nisaa (4): 71 dan QS. al-Anfaal (8): 60).
Jika melihat implementasi ayat-ayat tersebut pada kehidupan Nabi Muhammad Saw ini terjadi dalam skala komunitas, bukan bersifat individu masing-masing.
Karena itu, jika terus memburuk maka perang bisa saja diumumkan oleh negara, bukan oleh individu. Ini pun, kata al-Qur’an, diizinkan jika untuk mempertahankan diri dari kezhaliman yang dilakukan oleh musuh (QS. al-Hajj (22): 39).
Melindungi Orang Lemah
Bahkan untuk membela dan melindungi orang-orang yang lemah secara fisik dan sosial (QS. an-Nisaa’ (4): 75), dan harus terikat dengan etika secara ketat, seperti melindungi tempat-tempat ibadah (QS. al-Hajj (22): 40).
Termasuk juga kita tafsirkan seluruh fasilitas umum dan sumber kehidupan, balasan kekerasan harus sepadan dan terukur (QS. al-Baqarah (2): 194). Dan yang terbunuh hanyalah orang yang benar-benar terlibat perang (QS. al-Baqarah (2): 190).
Dengan etika dan moralitas perang seperti ini kita harapkan, begitu perang selesai, seluruh pondasi relasi kemanusiaan bisa dengan mudah ia bangun kembali antar berbagai kelompok yang berbeda agama.
Bahkan untuk membangun peradaban kehidupan, kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan. Yaitu peradaban yang berporos pada semangat kasih-sayang bagi semua kehidupan (rahmatan lil ‘alamin). Dan upaya menyempurnakan akhlak dalam seluruh relasi kemanusiaan (itmam shalihul akhlak). []