Mubadalah.id – Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam Kupipedia.id menjelaskan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan pengucilan terhadap perempuan haid. Sebaliknya, Islam hadir untuk membebaskan perempuan dari belenggu stigma, diskriminasi, dan pandangan patriarkis yang membatasi ruang geraknya.
Haid adalah bagian dari keniscayaan dari proses biologis yang menandakan kesehatan dan kemampuan reproduksi perempuan. Ia bukan kutukan, bukan kotoran moral, melainkan tanda kehidupan. Darah itu bukan simbol dosa, melainkan bagian dari rahmat Tuhan yang memungkinkan lahirnya generasi manusia.
Sayangnya, dalam fiqh, banyak penafsiran yang justru kembali meminggirkan perempuan. Haid diperlakukan sebagai pembatas aktivitas perempuan. Bahkan menjadi dasar pengucilan sosial dan keagamaan.
Di sinilah pentingnya pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan perspektif keadilan gender dan kemanusiaan.
Sebagaimana ditekankan oleh KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), pengalaman biologis perempuan adalah sumber pengetahuan keagamaan yang sah. Mengabaikan pengalaman itu sama saja menafikan separuh realitas umat. Maka, tafsir yang berkeadilan gender bukan sekadar pilihan, tapi keharusan moral dan teologis.
Islam Memuliakan, Bukan Mengasingkan Perempuan
Islam tidak datang untuk menambah beban perempuan, tetapi untuk memuliakan mereka. Rasulullah SAW bukan hanya memberi empati. Tetapi juga meletakkan fondasi kemanusiaan dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Bahkan, haid bukan alasan untuk menjauhkan perempuan. Ia adalah fitrah, bagian dari keutuhan tubuh dan jiwa perempuan. Maka, sudah saatnya masyarakat Muslim meneladani sikap Nabi tentang haid.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nyai Hj. Badriyah Fayumi bahwa haid bukan aib, bukan kelemahan, bukan dosa. Ia adalah bagian dari rahmat Tuhan yang patut kita muliakan. []








































