Mubadalah.id – Akhir bulan lalu saya mengikuti Ngaji Buku “Fikih Ramah Disabilitas” bersama Ibu Ro’fah, dosen sekaligus tim ahli Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga. Ada satu kalimat yang terngiang-ngiang di kepala saya: salatnya pengguna kursi roda bukan ruhsah, melainkan azimah.
Sekilas, istilah itu mungkin terasa teknis. Tapi jika direnungkan pelan-pelan, maknanya cukup besar. Ruhsah berarti keringanan, semacam dispensasi jika ada halangan. Sementara azimah adalah ketentuan utama, standar yang berlaku bagi semua. Dengan kata lain, jika dianggap azimah, maka posisi difabel dalam beribadah sama sekali tidak berbeda dengan kita yang sholat berdiri.
Sayangnya, masyarakat masih sering menempatkan difabel dalam kerangka pengecualian. Seolah-olah ibadah mereka adalah “versi ringan” dari ibadah mayoritas. Padahal, tidak ada versi kedua dalam hal ibadah. Semua sama-sama bermakna, dan sama-sama utama.
Fikih itu Fleksibelitas, Bukan Pembatasan
Fikih dalam Islam sejatinya bersifat fleksibel. Ia hadir untuk memudahkan, bukan mempersulit. Namun, fleksibilitas ini kerap disalahpahami. Alih-alih menghadirkan kemudahan yang setara, ia berubah menjadi dalih untuk membatasi.
Contohnya, banyak yang beranggapan difabel lebih baik salat di rumah saja karena sulit menuju masjid. Padahal, di saat yang sama kita meyakini bahwa salat berjamaah di masjid pahalanya lebih besar. Pertanyaan penting pun muncul: mengapa teman-teman difabel (khususnya pengguna kursi roda) harus kehilangan kesempatan itu hanya karena akses fisik yang tidak ramah?
Ibu Ro’fah dalam ngaji buku tersebut pun menekankan bahwa problem utama bukan pada tubuh difabel, melainkan pada masyarakat yang gagal memberi ruang. Iya, disabilitas harusnya bukan lagi isu medis semata. Ia adalah isu sosial. Dan perlu diakui kalau masyarakatlah yang membangun tembok-tembok diskriminasi, serta stigma yang menganggap difabel sebagai makhluk yang serba “kurang”.
Disabilitas dan Mitos Sosial
Jika kita mau menarik ke belakang, stigma ini memang punya akar panjang. Berabad-abad lamanya, difabel sering dianggap akibat dari perbuatan buruk. Ada yang bilang karena menggorok ayam dengan cara salah, ada pula yang percaya sebagai kutukan leluhur. Dan sialnya, narasi ini menempel kuat, erat, dan begitu lama hingga kita lupa melihat difabel sebagai manusia seutuhnya.
Alhasil, difabel sering dipandang hanya sebatas tubuh yang “tidak sama” dengan mayoritas. Padahal, keberagaman manusia adalah sunnatullah. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang kurang mulia. Yang ada hanyalah masyarakat yang gagal mengelola perbedaan. Iya, cara pandang kita saja yang bermasalah.
Rekonstruksi Fikih Inklusif
Dalam kondisi seperti itu, kita butuh upaya rekonstruksi fikih. Bukan sekadar memahami teks secara kaku, melainkan menggali kembali nilai-nilai syariah yang kontekstual. Prinsip dasar yang perlu kita sama-sama ingat adalah keadilan dan martabat.
Fikih harus berfungsi sebagai panduan moral yang relevan dengan zaman. Ia tidak boleh berhenti sebagai kumpulan aturan, tetapi hidup dalam masyarakat, menjawab persoalan nyata, dan menghadirkan keadilan. Khususnya bagi pengguna kursi roda.
Sebagaimana penegasan oleh banyak ulama, tujuan syariat adalah menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (maqashid al-syariah). Semua itu berlaku untuk seluruh manusia, tanpa kecuali. Maka jika ada kelompok yang masih tersisih karena tafsir sempit, bukankah itu tanda bahwa fikih kita perlu upaya-upaya pembaharuan?
Mengingat Kembali Pandangan Ulama tentang Difabel
Dalam khazanah Islam klasik maupun kontemporer, persoalan salat bagi difabel mendapat perhatian yang cukup beragam. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menekankan bahwa syariat menilai seseorang berdasarkan kesanggupan lahiriah dan batiniahnya.
Artinya, jika seseorang mampu melakukan suatu gerakan, maka itu menjadi kewajiban; namun jika tidak, maka syariat tidak membebaninya. Pandangan ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad: “Apabila aku perintahkan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuanmu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Di sisi lain, ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya menghindari sikap diskriminatif dalam ibadah. Dalam konteks ini dapat pula berarti bahwa menjadikan difabel seolah selalu dalam posisi rukhsah justru mereduksi potensi mereka untuk mendapatkan pahala yang lebih besar.
Baginya, ruang ibadah mestinya memberi peluang agar mereka tetap bisa menunaikan salat berjamaah sebagaimana Muslim lain, sebab keutamaan salat berjamaah berlaku universal.
Sementara itu, Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya menekankan bahwa maqashid syariah (tujuan utama syariat) adalah menjaga agama sekaligus memuliakan martabat manusia. Dalam kerangka tersebut, penyediaan masjid yang aksesibel bagi pengguna kursi roda bukanlah tambahan, melainkan bagian dari kewajiban sosial agar syariat dapat berjalan secara adil. Sebab, martabat kemanusiaan tidak boleh kurang sedikitpun hanya karena keterbatasan fisik.
Pendapat-pendapat ini menegaskan bahwa fiqh bukanlah teks beku, melainkan panduan yang hidup, yang seharusnya bergerak bersama realitas sosial. Maka, menyediakan akses yang memadai bagi difabel di masjid bukan hanya persoalan teknis bangunan, melainkan bentuk nyata menjalankan fiqh yang memuliakan semua.
Mengawal Fikih yang Menghidupkan
Dalam penutup webinar tersebut ada kalimat yang cukup powerfull, “kita perlu membangun fikih yang enabling, bukan disabling.” Saya terkesima, dan sepakat. Memang sebaiknya fikih itu membuka ruang, bukan menutup jalan. Fikih itu membela hak semua umat, bukan menyingkirkan sebagian.
Dan jika mau mengingat kembali, Islam sejak awal hadir sebagai rahmatan lil alamin, maka mustahil Islam mengecilkan martabat difabel. Justru kitalah yang sering gagal menafsirkan ajarannya secara adil. []