Mubadalah.id – Muharram lekat dengan anak yatim piatu, bahkan sebagian besar masyarakat kita menyebut satu hari di bulan Muharram (tgl 10 Asyuro) sebagai hari raya anak yatim. Di sepanjang bulan Muharram lebih-lebih di tanggal 10 tersebut, banyak kegiatan santunan anak yatim yang diselenggarakan di berbagai tempat dan lembaga.
Yang seringkali terjadi, panitia kegiatan santunan anak yatim akan mengadakan acara pengajian dengan mendatangkan penceramah dan menghadirkan sejumlah anak yatim piatu yang terdata di masing-masing desa penyelenggara. Di akhir sesi kegiatan akan ada penyerahan amplop berisi uang kepada masing-masing anak yatim piatu di atas panggung satu per satu.
Di sesi ini, biasanya penyumbang sedekah/ pemberi zakat diminta turut naik di atas panggung untuk bersalaman, mengusap rambut anak-anak yatim piatu dan foto bersama. Sekilas ini rutinitas biasa yang harus ada dalam rangkaian kegiatan peringatan 10 Muharram (Asyuro). Tapi apakah kita pernah memikirkan bagaimana perasaan anak-anak yatim piatu itu?
Kenalkan Konsep Santunan yang Humanis
Saya pernah menjadi salah satu pendamping anak yatim piatu pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) milik Yayasan Islam yatim piatu. Dari segi rangkaian kegiatan, santunan di lembaga yatim piatu tidak jauh berbeda dengan konsep kegiatan pada peringatan 10 Muharram (Asyuro) di masjid-masjid desa. Namun dari sisi penjagaan privasi, kegiatan-kegiatan santunan yang biasa terselenggara di lembaga yatim piatu jauh lebih “humanis”.
Pada kegiatan santunan yang lembaga yatim piatu selenggarakan, biasanya berbentuk tiga model kegiatan. Pertama, pemberi sedekah/ zakat mendatangi langsung lembaga dan mengadakan santunan di lembaga tersebut. Model kedua adalah si pemberi zakat mengundang anak-anak yatim piatu datang ke rumah pemberi sedekah/ zakat untuk diberikan santunan.
Model pertama dan kedua mengedepankan eksklusivitas dan privasi bagi anak-anak yatim piatu karena yang hadir dalam kegiatan tersebut hanya internal lembaga dan pihak pemberi sedekah/ zakat beserta keluarga internalnya. Namun yang perlu kita soroti adalah model ketiga yang mengundang anak-anak yatim piatu untuk agenda-agenda publik luas sehingga mengakibatkan adanya ekspos kepada khalayak ramai. Hal ini menjadi permasalahan yang barangkali luput dari perhatian kita.
Anak Yatim Piatu Punya Privasi
Anak yatim piatu memiliki privasi yang harus dijaga. Meski semua mengenal bahwa mereka adalah anak yatim piatu, panitia penyelenggara tetap perlu menjaga privasi berikut identitasnya. Sekali lagi, ini bukan melebih-lebihkan. Ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang tua adalah satu kesedihan dari banyak kesedihan lain yang harus anak-anak yatim piatu pikul.
Kesedihan lainnya adalah gelar “anak yatim piatu” yang harus mereka sandang juga merupakan hal berat bagi mereka. Belum lagi maraknya perundungan saat ini terhadap mereka kaum lemah anak-anak yatim piatu yang bisa jadi menjadi daftar panjang hal berat bagi mereka.
Faktanya, hal ini mungkin luput dari perhatian panitia penyelenggara kegiatan santunan anak yatim piatu. Tulisan ini tidak dalam rangka hendak mengusik tradisi baik yang sudah mapan. Tradisi-tradisi demikian sangat perlu kita pertahankan dalam rangka sebagai alarm. Tidak sedikit dari kita yang seringkali sibuk memperhatikan apa yang ada pada diri sendiri namun lupa bahwa ada perhatian yang perlu kita sisihkan untuk orang lain yang membutuhkan. Dalam hal ini kepada anak yatim.
Merawat Tradisi Santunan
Maka tradisi santunan yatim piatu tetap perlu kita lestarikan namun dengan sedikit memangkas rangkaian yang ada yaitu sesi penyerahan dan pemanggilan satu per satu anak yatim untuk keperluan mengusap rambutnya. Rangkaian tersebut cukup kita wakilkan secara simbolik dari panitia kepada salah satu tokoh agama. Selanjutnya kita proses satu per satu oleh panitia kepada anak-anak yatim-piatu penerima santunan di belakang layar.
Dalam QS. Al-Baqarah 271 menjelaskan bahwa menampakkan (mengekspos) pemberian itu diperbolehkan dalam rangka untuk memberikan i’tibar. Namun jika ada hal lain yang lebih maslahat dengan tidak menampakkan pemberian demi menjaga privasi/ rasa rendah diri bagi si penerima hadiah maka dalam ayat tersebut justru dianggap itu lebih baik. Bunyi QS. Al-Baqarah 271 sebagai berikut:
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Mungkin akan menjadi kerja panjang jika harus mengubah konsep dari rangkaian kegiatan santunan yang telah mentradisi tersebut. Namun pertimbangan-pertimbangan di atas terkait privasi anak-anak yatim kiranya menjadi renungan. Sebab dalam berbuat baik ada etika yang perlu kita tunaikan. Dengan demikian, memberi juga harus memperhatikan etika-etika yang telah kita tetapkan. []