Mubadalah.id – Waktu itu usianya baru menginjak 17 tahun, masih ranum-ranumnya. Seharusnya ia bisa berlaku sama seperti anak-anak lain yang gembira merayakan pijakan awal menuju usia dewasa, tapi takdirnya tak menghendaki demikian. Sebagai anak yatim piatu di Panti Asuhan Somalia, ulang tahun bagi Amina (bukan nama sebenarnya) justru menjadi pintu baru untuk menghadapi kerasnya dunia. Meninggalkan usia enam belas berarti masa tinggalnya di panti sudah habis. Ia dianggap sudah layak untuk bekerja dan mencicipi pahit manisnya hidup seorang diri.
Untunglah, ia anak yang cekatan dan pandai bergaul. Usai melamar sana sini, akhirnya ada yang menerimanya bekerja di rumah makan. Gajinya memang tak berlebih, namun itu lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Pekerjaan barunya membuat ia memiliki banyak teman, sebagai anak yang ramah, ia mudah sekali menjalin persahabatan.
Sayang di sayang, kenikmatan baru sebagai pekerja ternyata hampir sebentar. Ia ingat betul, waktu itu sehabis pulang bekerja, ia berjalan pulang mengambil jalur biasa. Namun tak dinyana, sekelompotan orang menjambret dirinya dan bahkan dengan tega memukulnya hingga tak sadarkan diri. Syukurlah, seketika ada yang menolongnya dan menawarkan bantuan: ia diminta bergabung bersama ratusan orang lainnya untuk mencari tempat hunian baru yang lebih layak dan aman untuk ditinggali.
Yang jelas, ia tak akan dibayang-bayangi ketakutan seperti sekarang. Apa yang barusan Amina dengar, membuat ia menggeleng tak karuan. Bagaimana mungkin, ia yang baru saja kecopetan kini seraya dijatuhi durian runtuh untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih aman?
Meski di awal sedikit ragu, ia akhirnya mengiyakan. Sisa uang yang ia miliki, langsung ia serahkan pada laki-laki baik hati tadi. Raut mukanya pun mendadak cerah menyambut ‘rumah’ baru yang ia idam-idamkan. Dengan kapal besar, ia bersama ratusan orang Somalia lainnya pada beberapa hari berikutnya diikutkan kapal besar untuk mengarungi lautan demi menjemput impian masa depan. Di dalam kapal, ia tengok kiri kanan: semua orang meski terlihat khawatir, namun wajah-wajah mereka menyiratkan harapan. Amina pikir, pasti mereka sama seperti dirinya: ingin hidup lebih baik di tempat yang aman tanpa risiko konflik sipil dan kerusuhan.
Setelah hampir satu bulan di kapal, akhirnya kapal mereka mendarat juga di perbatasan Malaysia. Di sana, bukannya dikoordinir, ternyata mereka tak diberikan arahan lanjutan. Ketua rombongan yang menjejali mereka janji-janji palsu tiba-tiba lenyap tanpa jejak dan catatan. Alih-alih hidup lebih aman, di tempat baru mereka harus kucing-kucingan dengan aparat kepolisian, termasuk Amina yang setiap hari memutar otak mencari jalan keluar.
Beruntung, ia lalu bertemu dengan beberapa pemuda yang memberikan opsi alternatif: pindah ke Medan agar ia kemudian dapat mengajukan aplikasi untuk mendapatkan suaka. Berbeda dengan keberangkatannya dulu yang perlu mengeluarkan banyak uang, ia pergi ke Medan tanpa membayar satu tiket pun. Berkat bantuan orang baik yang ditemuinya, ia diberikan tiket menuju tempat persinggahan baru di Pulau Sumatra.
Sesampainya di Medan, ia dan beberapa orang lain direlokasi ke kantor UNHCR. Di sana, selain mendaftar suaka, ia juga membantu pengungsi-pengungsi lainnya melakukan hal yang sama. Kemampuannya mengorganisir selanjutnya justru menarik perhatian staf di sana. Ia kemudian ditawari pekerjaan dan diberi pelatihan bahasa.
Meski sudah banyak membantu, namun ternyata pengajuan suaka tidak semudah membalikkan telapak tangan: waktunya cenderung tidak pasti dan birokrasinya tidak transparan. Amina pun hanya bisa menyerah pasrah. Begitu juga ketika mendapatkan tawaran untuk pindah ke Jakarta untuk membantu sesama pengungsi yang sudah lebih dulu tinggal di ibu kota.
Di Jakarta, ia berjumpa lebih banyak organisasi nirlaba yang tertarik bekerjasama. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, ia ditawari untuk memimpin komunitas pengungsi perempuan yang terlunta-lunta tanpa kejelasan. Menyadari bahwa ia berkesempatan untuk menyebarkan manfaat lebih luas, tawaran tadi pun ia terima. Sehari-hari, ia membuat jadwal kegiatan pemberdayaan pengungsi perempuan, dari memasak, bela diri, hingga bercocok tanam.
Kadang kala, karena pintar mengaji dan sudah hafal 30 juz Al Quran, ia diminta untuk mengajar dari rumah ke rumah. Semuanya ia jalani tanpa mematok tarif sepeser pun sebab statusnya sebagai pengungsi membuat Amina tidak berhak bekerja, menikah, maupun mendapatkan kartu identitas. Sebagai gantinya, ongkos perjalanan akan diganti oleh si pengundang dan acap kali ia diberikan hadiah tanda mata sebagai wujud apresiasi.
Mendengar kisah panjangnya di seberang meja sore itu, saya lantas hanya sanggup bertanya singkat, “apa yang membuatmu tetap kuat?”
“Hasna, sudah sedari kecil saya ditinggal orang tua. Saya tak punya apa-apa: saya tak punya tempat tinggal, saudara pun sudah jauh, kami semua hilang kontak. Namun, saya masih bisa bertahan hidup, masih diberikan kesempatan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya. Itu artinya apa? Saya punya Allah. Allah jaga saya, Allah berikan kekuatan dan ketenangan. Dan itu lebih dari cukup.”
Deg! Jawaban Amina menghujam tepat ke jantung saya. Bukan karena ceritanya menyedihkan, bukaaan… justru lebih dari itu, ia mengajarkan makna hidup yang sesungguhnya: kita semua sejatinya adalah pengungsi yang tak punya apa-apa, dan ditempatkan sementara di bumi, yang berbeda hanyalah kondisi kita sekarang, dan bagaimana cara kita menghabiskan waktu untuk menunaikan amanah kekhalifahan yang diberikan oleh-Nya. []
*Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sisterhood Community Centre atas izin wawancara dan peliputan kegiatan pemberdayaan pengungsi, termasuk cuplikan kisah ‘Amina’ yang disetujui untuk dipublikasikan