Mubadalah.id – Sependek ingatan saya peristiwa Nuzulul Qur’an adalah peristiwa yang kita peringati pada bulan suci Ramadan. Peristiwa ini dapat kita artikan sebagai peristiwa turunnya kitab suci agama Islam, yaitu Al-Qur’an. Terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan di balik peristiwa Nuzulul Qur’an. Oleh sebab itu, kita sebagai Umat Muslim dianjurkan untuk dapat memahami kisah dan hikmah di balik peristiwa Nuzulul Qur’an agar dapat menambah keimanan serta ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Nuzulul Qur’an sendiri secara etimologis terbagi menjadi dua kata, yaitu Nuzul dan Al-Qur’an. “Nuzul” berarti turunnya suatu benda dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sedangkan “Al-Qur’an” berarti kitab suci yang berisi firman Allah yang turun melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun dalam peristiwa Nuzulul Quran tersebut, seringkali kita luput menceritakan peran perempuan, Sayyidah Khadijah, yang namanya jarang tersebut dalam ceramah-ceramah keagamaan, di mushala, di masjid, atau majelis-majelis ta’lim mulia lainnya. Di mana peristiwa Nuzulul Qur’an selalu kita peringati setiap tahun. Peran perempuan seakan dianggap tidak penting, tak diperdengarkan, dan tak diceritakan.
Bukan Perempuan Biasa
Sebagaimana melansir dari tafsiralquran.id, Khadijah bukanlah perempuan biasa. Beliau banyak mempelajari tanda-tanda kenabian dari kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah Swt. telah memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda bernama Muhammad bin Abdullah berbeda dengan pemuda Makkah lainnya.
Mulai dari peristiwa pembedahan dada yang disaksikan oleh teman-teman sebaya Nabi Saw, batu yang mengucapkan salam, suara panggilan dari langit, serta awan yang selalu memayungi kemanapun Nabi Saw. melangkahkah kaki dan sebagainya. Ditambah kemuliaan akhlak Baginda yang begitu agung hingga beliau dikenal sebagai al-Amin.
Lalu dalam peristiwa Nuzulul Quran, setelah menyampaikan wahyu pertama QS. Al Alaq [96]: 1-5 dan Nabi selesai membacakannya, Malaikat Jibril as pun pergi meninggalkan Nabi. Namun, wahyu pertama ini terpatri kuat dalam sanubari Nabi Saw. Dalam keadaan badan yang masih gemetar, beliau kembali ke rumah menemui Khadijah dan memintanya untuk menyelimuti beliau hingga hilanglah semua ketakutan itu. Nabi lalu menceritakan semua apa yang beliau alami dan berkata, “Sungguh aku mencemaskan diriku.”
Dengan penuh kasih, Sayyidah Khadijah mencoba menenangkan Nabi seraya berucap, “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengupayakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.” Khadijah pun berharap Nabi Saw. menjadi seorang utusan penghujung zaman yang akan memandu umat manusia (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah).
Paska Peristiwa Nuzulul Qur’an
Khadijah tidak tinggal diam melihat kegelisahan yang merundung Baginda Nabi Saw pasca peristiwa Nuzulul Qur’an tersebut. Tak berselang lama, beliau mengajak Nabi menemui Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani yang alim kitab Injil. Kedatangan Khadijah menemui anak pamannya itu untuk lebih memastikan kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi adalah tanda-tanda kenabian dan kerasulan. Khadijah juga berharap, perjumpaannya itu bisa melepas kegundahan yang melanda hati Nabi Saw.
Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini.” Waraqah segera bertanya kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang kau lihat?” Lalu Nabi menceritakan apa yang beliau lihat dan alami di Gua Hira. Setelah mendengar semuanya, Waraqah berkata lagi kepada Nabi, “Itulah Namus (Jibril as) yang pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.”
Mendengar itu, Nabi Saw. pun bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, karena setiap utusan yang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti akan dimusuhi. Kelak, engkau akan mengalami masa-masa seperti itu. Dan jika aku masih hidup, aku pasti akan menolongmu sekuat tenaga.” Tidak lama dari perjumpaan itu, Waraqah bin Naufal tutup usia.
Peran Besar Perempuan dalam Sejarah Islam
Melalui kisah Sayyidah Khadijah dalam peristiwa Nuzulul Quran ini, banyak hikmah luar biasa yang bisa kita petik. Begitu tepatnya Allah Swt. memilih Khadijah, sosok perempuan tangguh dan tegar yang selalu ada di sisi Nabi Saw. ketika beliau menerima amanat risalah agung. Tidak hanya berperan penting menenangkan Nabi Saw. Di saat ketakutan dan kebingungan melanda hati beliau, Khadijah pun berusaha mencarikan jalan keluar dengan membicarakannya kepada Waraqah bin Naufal.
Maka dalam sejarah peradaban Islam, tercatatkan setelah peristiwa Nuzulul Quran penerimaan wahyu pertama itu, Khadijah tidak hanya sebagai pendamping hidup yang setia menemani setiap perjuangan Nabi, tetapi juga tahu apa yang harus ia lakukan, siapa yang harus ia temui, dan Sayyidah Khadijah menjalankan peran seperti diplomat ulung, yang selalu membela Nabi Saw, ketika kaum Makkah justru mendustakan dan menentangnya.
Dari kisah Sayyidah Khadijah ini kita juga belajar tentang peran besar seorang perempuan, melalui peristiwa Nuzulul Quran yang paling agung dalam sejarah umat Islam. Sayyidah Khadijah yang berhasil memerankan diri sebagai istri salihah yang setia menemani gelisah Nabi saw. Meskipun konteks kisah ini tentang peran Khadijah ketika penerimaan wahyu. Namun pesannya dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut saya, inilah salah satu kunci utama suksesnya sebuah kehidupan rumah tangga; ketika istri mampu menjadi tempat kembali dan memberikan ketenangan bagi sang suami, lalu suami berkeluh kesah kepada istri. Sebaliknya, suami yang juga melibatkan pasangannya dalam setiap resah yang ia rasakan. Bukan laki-laki lain, dan bukan pula perempuan lain. []