Mubadalah.id – Dalam dunia pendidikan, kita mengenal pendidikan gaya bank yang digagas oleh Paulo Freire. Gagasan itu mengkritik dominasi guru dalam pembelajaran. Di kelas, para guru kerap memposisikan murid layaknya kendi kosong yang perlu kita isi terus-menerus.
Anak kita posisikan seperti benda yang tidak tahu apa-apa dan membutuhkan petuah orang dewasa seratus persen. Akibatnya, kita sering menemukan anak tidak aktif berpendapat dan bingung dengan dirinya sendiri.
Ternyata, bukan hanya sekolah yang menyuburkan culture silent pada diri anak. Keluarga juga bisa menjadi asal muasal pelanggengan budaya tersebut. Sebabnya tentu dari orang tua. Untuk menjadi seorang dokter, insinyur, arsitek, dan profesi lain, biasanya kita sadar perlu belajar dan serius mendalami bidang tersebut. Tapi untuk menjadi orang tua?
Kita kerap menganggapnya sebagai peran natural yang sifatnya given atau kodrat, tidak perlu belajar, kita semua mampu. Padahal, sebelum menjadi orang tua justru memerlukan kesiapan dan pembelajaran yang jauh lebih serius. Menjadi orang tua berarti menjadi seniman yang adiluhung dan pengabdian seumur hidup.
Orang tua menciptakan kehidupan, atau sedikitnya berkolaborasi dalam kreasinya. Materi utamanya adalah manusia, yang mereka lahirkan, mereka rawat, mereka dukung, dan mereka bantu untuk menyadari potensi lahiriahnya. Tentu ini lebih kompleks dari seorang dokter yang bergulat dengan organ tubuh, seniman dengan garis, warna, suara dan gambar, koki dengan makanan, dan insinyur dengan mesin.
Karena itu, sebelum menjadi orang tua, ada baiknya mempertimbangkan dengan matang beberapa hal yang terkait dengan kehidupan anak. Anak tidak pernah memilih terlahir dari rahim siapa, tapi sebagai calon orang tua, tentu kita punya pilihan dan kesadaran penuh untuk memilih kehidupan seperti apa yang akan kita berikan kepada anak.
Merujuk dari berbagai referensi dan perenungan, barangkali beberapa poin di bawah ini bisa bermanfaat dan membantu dalam memahami parenting sebelum menjadi orang tua.
Menyadari Kepemilikan Diri Anak
Ada sebuah tulisan sangat menarik yang menyadarkan para calon orang tua untuk menghargai anak sebagai individu merdeka. Tulisan itu termuat dalam buku Sang Nabi (2024) gubahan Kahlil Gibran:
“Anakmu bukanlah milikmu/ Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri/ Lewat engkau mereka lahir, tapi bukan dari engkau/ Mereka ada padamu, tapi bukan dari engkau/ Mereka ada padamu, tapi bukan kepunyaanmu/
Berikan mereka kasih sayangmu/ Tapi, jangan sodorkan bentuk pikiranmu/ Sebab pada mereka ada dalam pikiran tersendiri/ Patut kau berikan rumah untuk raganya/ Tapi, tidak untuk jiwanya/ Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan/Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpi/
Kau boleh berusaha menyerupai mereka/Namun, jangan membuat mereka menyerupaimu/ Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur/ Pun tidak tenggelam di masa lampau/
Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur/ Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian/ Dia merentangmu dengan kekuasaanNya/ Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat/Meliuk dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah/
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat/ Sebagaimana Pula dikasihi-Nya busur yang mantap.”
Setiap orang tua yang telah membuat, melahirkan, dan mengasuh anak tentu tergiring untuk merasa memiliki tubuh dan jiwa anak seutuhnya. Tetapi, ternyata rasa itu tidak baik bersarang di hati. Anak adalah putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Kepemilikan hanyalah milik Tuhan, dan milik diri sendiri. Orang tua hanyalah jembatan yang berusaha menghubungkan anak dengan luar dirinya. Kesadaran ini dapat mengindarkan orang tua dari sikap posesif dan otoriter dalam pola pengasuhan.
Membalik Paradigma Pendidikan
Orang tua mungkin terbiasa lebih sering memikirkan apa yang dapat ia ajarkan pada anak dari pada sebaliknya, apa yang bisa kita pelajari dari anak. Mungkin, orang tua perlu bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang bisa kita pelajari dari mereka.
Anak adalah pendatang baru, yang datang pada setiap orang tua dengan kesegaran dan keaslian yang mungkin sudah hilang dari orang dewasa. Kesegaran dan keaslian itu yang sesungguhnya banyak dirindukan oleh orang dewasa untuk menjalani hidup. Dari anak, sesungguhnya kita kembali belajar arti ketulusan, kesabaran, ketekunan, konsistensi, dan keikhlasan.
Tidak Menularkan Masa Lalu pada Diri Anak
Orang tua tanpa sadar kerap menulari anak-anak dengan seperangkat besar perasaan dan perilaku dari segala tingkat. Takut kecoa, tabu seksual, perilaku terhadap makanan, properti, uang, dan takut pada kematian. Biasanya semua itu terjadi begitu saja. Tidak ada penjelasan secara eksplisit, selain melalui pemahaman secara bertahap.
Karakter atau pembawaan tidak terkirimkan kepada kita dalam satu paket. Semuanya sampai pada kita melalui penularan. Kita biasanya terprogram untuk mengulangi kebiasaan-kebiasaan yang tertularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang terjadi, karakter dan potensi individu sebagai seorang manusia kerap tidak terselamatkan.
Dalam buku Apa yang Diajarkan oleh Anak Kita (2002) gubahan Piero Ferrucci, penulis menceritakan bagaimana penularan masa lalu terjadi pada anak dalam hal-hal yang sederhana dan kerap kita anggap sebagai kewajaran:
Saya sedang memanjat tebing bersama Emilio (anak penulis). Sementara saya tertatih-tatih di antara bebatuan, ia melompat-lompat, luwes dan ringan langkah. Saya bisa membayangkannya terjatuh, terluka, tergores-gores, tapi saya diam saja karena tidak sependapat dengan orangtua yang tak henti-hentinya memperingatkan anak mereka, “Awas!”, “Jangan pegang itu!”. Kata-kata tersebut adalah teknik paling jitu untuk menciptakan anak-anak penakut dan penggugup.
Untuk sementara, saya masih bisa mengendalikan diri. Tapi, ketika Emilio sampai di tebing paling berbahaya, segenap kecemasan yang sudah terakumulasi meledak dalam sebuah teriakan, “Stop! Awas!” Saya masih bisa melihat adegan itu diputar ulang dalam gerak lambat. Dalam tubuh Emilio, yang sampai detik itu masih bekerja dengan sangat baik, terjadi konsleting. Tubuhnya menegang, ia kehilangan kesimbangan, terjatuh, dan menangis. Bukan hanya karena kesakitan, saya yakin, tapi karena saya memindahkan ketakutan saya sendiri kepadanya.
Sebenarnya, kalau pun Emilio benar-benar menghadapi risiko, saya akan memperingatkannya. Tapi, ia tidak dalam bahaya. Tetap saja saya senewen, seperti orang-orang dewasa di sekitar saya memperlakukan saya dulu di masa kecil. Saya tersekap dalam penjara kegelisahan. Kali ini saya memindahkannya kepada Emilio.
Cerita menyingkapkan sikap orang tua yang sering tanpa sadar memindahkan trauma ke dalam diri anak, baik berupa rasa takut, khawatir, ketidak percayaan diri, dendam dan sederet perasaan lainnya. Berdamai pada diri sendiri atas segala emosi yang telah dirasakan dan percaya pada kemampuan anak, adalah sebuah gaya parenting yang sepertinya perlu untuk kita budayakan.
Berhitung Soal Kemampuan Finansial
Calon orang tua, sangat sering mendengar banyak petuah, salah satunya: “Banyak anak, banyak rezeki”. Kalimat itu dibumikan oleh banyak orang untuk mendorong seseorang lekas memiliki anak. Seolah, dengan hadirnya anak maka otomatis akan datang rezeki yang mengiringinya.
Rezeki biasanya merujuk pada aspek finansial. Menurut saya, kalimat tersebut layak disebut logical fallacy, sesat pikir atau argumen yang mengandung penalaran yang salah. Akan lebih make sense diubah menjadi “Banyak rezeki, banyak anak.” Jadi, siap dahulu secara finansial baru berani memiliki anak.
Realitasnya, keputusan memiliki anak berarti siap bertanggung jawab untuk menyiapkan parenting yang baik, sandang, pangan, dan papan bagi si buah hati. Semua itu tentu membutuhkan rencana dan perhitungan finansial yang matang. Kalimat “Banyak anak, banyak rezeki” seolah menempatkan anak terlebih dahulu sebelum kebutuhanya, mudahnya begini: “Nekat punya anak dulu, kebutuhannya nanti menyusul”.
Yang terjadi, ketika anak lahir, banyak orang tua absen memenuhi kebutuhan anak baik secara psikologis maupun materi. Hal itu tentu memunculkan efek domino tidak hanya pada diri anak tapi juga kenyamanan keluarga hingga masyarakat. Jadi, perhitungan soal finansial sangat penting untuk kita persiapkan terlebih dahulu ketimbang berjudi dengan nasib.
Empat point tersebut hanyalah pengantar bagi para calon orang tua yang berkeinginan memiliki anak, ada beragam aspek lain yang juga perlu di pelajari dan disesuaikan dengan konteks masing-masing. Pada akhirnya, menjadi orang tua adalah sebuah upaya belajar yang tidak pernah usai, sejak sebelum maupun sesudah memiliki anak. []