Mubadalah.id – Setiap 21 April, semua masyarakat Indonesia pasti ingat sejarah Kartini, ikon perempuan feminis Indonesia. Beliau memang sudah lama tiada, tetapi nama harum beliau, ‘atsar’ perjuangan dan dobrakannya masih terasa hingga hari ini. Kini, perempuan Indonesia telah banyak yang berpendidikan tinggi, berkarir dan terlibat aktif dalam berbagai bidang, ikut berkontribusi membangun negeri ini.
Meski di sana, di beberapa tempat khususnya di Indonesia, tidak sedikit perempuan masih ada yang mengalami keterpurukan, kekerasan, sexual harrasement. Mereka masih belum bisa mengaji, tidak mendapat pendidikan yang layak dan tidak dihargai. Tetapi keadaan hari ini setidaknya sudah mulai banyak masyarakat yang tercerahkan dalam memposisikan anak perempuan dan memandang perempuan secara umum. Iya kan?
Era Kartinilah yang disebut-sebut sebagai awal titik tolak emansipasi perempuan di Indonesia. Jika kita tinjau era ibu Kartini, zaman di masa itu, adalah sezaman dengan pergolakan perempuan dan isu-isu gender yang mulai bergulir di Mesir.
Kebetulan tahun wafat ibu Kartini ini hampir beriringan dengan wafatnya Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905). Dia seorang mujaddid Mesir, ulama Al Azhar dan murid dr Syaikh Jamaluddin Al Afghani. Muhammad Abduh juga pernah menjadi mufti di Mesir pada akhir tahun 1800an dan merupakan guru Rasyid Ridla.
Nah, negara Mesir ini terpandang sebagai negara Arab pertama yang telah menggugat tradisi dan wacana keagamaan terkait isu gender di dunia Islam umumnya. Tokohnya, sebut saja, Qasim Amin yang kemudian mendapat julukan sebagai ‘Bapak Feminis Arab,’ yang dengan bukunya ‘Tahrir al Mar’ah (Liberation of Women) dan Al mar’ah al jadidah (The modern Women). Dia mencoba mengkritisi tradisi dan pemikiran keagamaan di Mesir.
Menilik Isu Gender dalam Sejarah Mesir
Meskipun ada yang menyebut, dalam karya Dr. Muhammad Imarah kalau tidak salah terbit 1992, bahwa karya Qasim Amin tersebut adalah karya berdua antara Muhammad Abduh dengan Qasim Amin. Lho kok? Ini memang pendapat yang pinggiran (tidak umum) dengan wacana yang berkembang selama ini.
Menurut kajian Duktur Imarah, karena selain Qasim Amin adalah murid Muhammad Abduh, yang ketika itu mereka sempat bertemu secara intens di Prancis juga karena pada waktu itu, menjelang terbit buku Tahrir al Mar’ah, Syaikh Muhammad Abduh baru saja dilantik sebagai mufti di Mesir.
Jabatan mufti adalah sangat berwibawa, bergengsi dan berpengaruh di Mesir. Bagaimana pun saat itu pemikiran masyarakat masih sangat tradisional, lalu tiba-tiba muncul pemikian yang dipandang sangat liberal nan nyeleneh terkait isu-isu gender.
Pasti banyak penolakan dan resisten dari berbagai kalangan. Bahkan mungkin berimbas pada jabatan mufti beliau bisa dicopot, itu kemungkinan aja sih. Ingat riwayat beberapa nama tokoh yang mengalami kematian tragis di Mesir, akibat dari pemikirannya sendiri.
Oleh itu, hal demikian bisa saja dapat berimpact pada reputasi dan kedudukan Syaikh Muhammad Abduh yang baru saja menjabat Mufti. Tentu juga dapat berpengaruh pada cita-cita dan perjuangan Abduh dalam memperbaruhi pemikiran keagamaan dan tradisi di sana ke depan. Apabila sampai dicopot dari jabatan tersebut. Jadi, mungkin Syaikh Abduh dengan cara demikian, membiarkan buku Tahrir al Mar’ah hanya atas nama Qasim Amin, agar survive dari hal-hal yang tak mereka inginkan.
Konon, dalam buku tersebut, tentang isu keagamaan dari Muhammad Abduh, sedangkan isu sosial dari Qasim Amin. Sebenarnya hal seperti ini sungguh rasional dan bukan hal baru. Ingat, tradisi kolaborasi antara murid dan guru ini juga sama dengan penulisan tafsir al-Manar. Sebagian di dalamnya merupakan pemikiran Syaikh Abduh dan Rasyid Rida, sedang yang menulis adalah muridnya (Rasyid Rida).
Sejarah Feminisme di Barat
Sementara di Barat, ada nama Mary Wollstonecraft (1759-1797), penulis, feminis dan filsuf Barat. Beliau sering berkaitan dengan pendobrak kebekuan yang beraliran feminis di Barat. Bukunya yang terkenal berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” (1792).
Dalam buku itu, ia menulis sebuah pandangan bahwa perempuan secara alamiah tidak lebih rendah dari laki-laki. Tetapi seolah-olah terlihat seperti itu hanya karena mereka tidak memperoleh banyak pendidikan. Ia menghendaki dan merekomendasikan kala itu agar perempuan dan laki-laki setara dalam segala bidang.
Keadaan itu menunjukkan sebenarnya kondisi perempuan di belahan bumi mana pun posisi dan keadaannya sama. Belum dapat kemuliaan dan masih terposisikan berbeda dengan kaum lelaki.
Meskipun terlihat di permukaan perempuan Barat sejak dahulu lebih nampak terbuka dan bebas, dalam arti budaya, daripada perempuan dalam masyarakat Muslim. Di Barat perempuan tiada halangan atas nama agama dan tradisi, tetapi rupanya masih ada sekat perbedaan dengan kaum Adam.
Sejarah Nusantara
Di sisi lain, dalam sejarah Nusantara, apabila kita kaitkan dengan kiprah perempuan pra-era Kartini, juga sebenarnya sudah banyak perempuan yang menduduki posisi penting dan tinggi. Yakni menjadi pemimpin dan raja (pemimpin negara) dan pemimpin perlawanan.
Sebut saja Ratu Kalingga ‘Ratu Sima’ (abad 7 M), Permaisuri Majapahit Tribuana Wijayatungga Dewi, Putri Kalinyamat (anak Sultan Trenggono) abad ke 15. Termasuk beberapa Sulthonah Aceh pada era Kerajaan Islam dan masih banyak lagi. Mereka memang para perempuan pilihan nan tangguh di eranya di bidang kepemimpinan. Namun, ketika bangsa Nusantara semakin terpuruk oleh ketertindasan penjajah.
Nasib bangsa ini lemah dan tak berdaya. Keadaan itulah menjadikan sosok Kartini kita butuhkan, juga istimewa. Bangsa Nusantara harus berpendidikan, berwawasan maju, kuat menandingi bangsa-bangsa penjajah di masa itu.
Kartini memang bukan seorang ratu yang memimpin sebuah bangsa atau masyarakat tertentu, tetapi Kartini telah berani mendobrak mental masyarakat dan memberi pencerahan dalam bidang pendidikan, keberanian dan perjuangan seluruh bangsa ini.
Tentu saja bukan hanya untuk perempuan, tetapi seluruh bangsa Indonesia saat itu. Inilah yang membedakan Kartini dengan para pemimpin perempuan sebelumnya. Maka sudah benar Kartini kita sebut sebagai Pahlawan Nasional.
Bayangkan, zaman itu, di mana Indonesia masih terjajah Belanda dan jauh dari tahun kemerdekaan, sudah ada putri Indonesia yang sadar akan nasib kaumnya. Menariknya, Kartini berinisiatif sendiri untuk memulai semuanya saat itu, bahwa perempuan Indonesia harus berpendidikan, trampil, mandiri dan maju. Sehingga bisa memberi manfaat kepada yang lainnya. Sungguh cita-cita yang besar dan sangat mulia bagi negeri ini.
Kartini Santri dari Kiai Sholeh Darat
Selain itu yang harus publik pahami, ibu Kartini juga merupakan santri Kyai Sholeh Darat Semarang. Kyai Soleh Darat adalah guru dari banyak ulama laki-laki di Nusantara ini. Di antara muridnya adalah dua tokoh pergerakan Islam dan pendiri organisasi besar di Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Siapa yang tak kenal keduanya? Konon dalam banyak informasi, ibu Kartinilah yang mengusulkan kepada Kyai Soleh agar ada tafsir yang dapat terpahami dan dibaca oleh orang Jawa. Karena Kartini kecil merasa aneh saat belajar mengaji hanya diajarkan baca, tulis, menghafalkan, sedang ia tidak paham apa maknanya.
Bertanya kepada guru ngajinya juga tidak mendapat jawaban, karena saat itu al Quran masih dipandang terlalu suci untuk dapat diterjemahkan ke bahasa selain Arab. Tahun itu bukan tidak ada tafsir, ada buanyak, tetapi mayoritas dalam bahasa Arab.
Baginya sama saja masyarakat umum tidak dapat memahaminya karena sama berbahasa Arab. Dari ide tersebut kemudian lahirlah tafsir Faidh al Rahman yang ditulis oleh Kyai Soleh Darat. Buku Tafsir karya Kyai Soleh ini tertulis dengan Arab pegon. Kalau tidak salah, tafsir tersebut ditulis dari juz 1-13 (al fatihah hingga surat Ibrahim).
Terima kasih ibu Kartini, aku dan perempuan-perempuan lainnya telah menikmati perjuanganmu dan pendidikan itu. Namamu harum terkenal seantero dunia, bahkan sejak surat-surat ibu Kartini diterbitkan dan teralihbahasakan ke puluhan bahasa di dunia. Kalau tidak salah penerjemahan itu berawal sejak tahun 1923. Nama Kartini harum, insyaAllah akan terkenang sepanjang masa dalam sanubari bangsa ini. Lahal Fatihah. []