Mubadalah.id – Sejarah kepemimpinan dan kepahlawanan perempuan Islam Nusantara tidak lepas dari sudut pandang pengonstruksi dan penulisnya. Ketika penulisan sejarah tidak disertai sensitivitas gender, jangan harap ada banyak nama perempuan yang muncul.
Nama perempuan yang sangat layak disebut pun, bahkan, bisa tidak ada atau malah sengaja ditiadakan. Saat belajar sejarah Islam Indonesia di sekolah dulu, kita tidak pernah tahu bahwa kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara ini pernah mengalami kejayaan di bawah kepemimpinan para ratu yang luar biasa, karena nama mereka tak pernah disebut.
Mereka padahal sangat berpengaruh, memiliki peninggalan yang jejaknya nyata hingga saat ini, dan berkuasa dalam waktu yang lama.
Sebagai contoh, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Ratu Aceh Darussalam ini memerintah selama 33 tahun (1641-1674 M).
Sang ratu menguasai bahasa Arab, Perancis, Urdu, dan Spanyol, selain ilmu-ilmu agama yang sudah ia pelajari sejak usia tujuh tahun. Pada masanya, ilmu pengetahuan maju pesat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Nama UIN ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala yang merupakan dua perguruan tinggi negeri terdepan di Aceh saat ini mereka ambil dari nama mufti-mufti besar yang hidup pada zaman Sultanah Safiatuddin. Mereka di-support total oleh Sultanah dan mereka pun mendukung kepemimpinan Sultanah.
Setelah Sultanah Safiatuddin, masih ada tiga lagi sultanah yang berkuasa di Aceh Darussalam. Ironis, sejarah kerajaan Islam Aceh tidak memuat nama-nama tersebut.
Hal ini sampai kepada anak-anak adalah bahwa Aceh mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Sultanah Safiatuddin yang notabene putri Sultan Iskandar Muda, lama berkuasa, dan nyata jejak peninggalannya, justru tak tercatat.
Keumalahayati
Masih dari Aceh, laksamana yang ditakuti dunia saat itu, Keumalahayati, pun tak pernah disampaikan kepada anak sekolah seperiode penulis dulu bahwa beliau mampu mengorganisasi 2.000 pasukan perempuan pada masanya, dan beliau pula yang menewaskan Cornelis de Houtman dari Belanda dalam pertempuran satu lawan satu di atas geladak kapal di Selat Malaka. Dahsyat, tapi tak tercatat!
Dari bumi Sulawesi juga ada nama Ratu Aisyah We Tenri Oile, Ratu Kerajaan Tanette yang memerintah selama 55 tahun (1855-1910). Sang ratu juga sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan memajukan pengetahuan.
Salah satu jejak nyatanya adalah terkumpulnya naskah I La Galigo, sebuah epos yang apik dan panjang, yang saat ini tersimpan di perpustakaan Leiden, yang tersinyalir lebih kuat falsafah kebaikannya dan lebih panjang isinya daripada Mahabharata. Lima puluh lima tahun jelas bukan waktu yang sebentar, tapi toh tetap saja kepahlawanan nya tak tercatat. []