Mubadalah.id – Saat Isu toleransi merebak di mana-mana. Muncul topik-topik tertentu yang sangat sensitive dibicarakan. Banyak orang berdebat karenanya. Dunia nyata mungkin terlihat baik-baik saja. Namun entah kenapa dunia maya jadi mudah membara.
Sejauh jempol ini menjelajah, banyak sekali isu-isu SARA yang ku temukan. Banyak orang terprovokasi karenanya. Mereka menyalahkan, mendiskriminasi bahkan menghujat satu sama lain.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Apakah mereka hanya termakan framing media? Melupakan adanya keberagaman? Atau justru, memang belum pernah hidup di tengah keberagaman? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, namun bukannya memberikan jawaban, ia justru membawaku pada sepenggal kenangan manis. Sebuah masa di mana keberagaman menjadi makanan harianku.
Masa Kanak-Kanak yang Ku Rindu
Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat ku rindu. Saat dunia seperti masih baik-baik saja. Masa dimana yang aku pikirkan hanyalah, besok pelajaranya apa? lalu mau main apa? serta permasalahan terbesar hanyalah PR Matematika. Sungguh sangat nyaman bukan? Apalagi terdapat sepenggal kenagan manis di dalamya.
Aku menghabiskan banyak masa kanak-kanaku selama enam tahun di sebuah SD yang multi etnis. Tepatnya adalah SD N 01 Purwoharjo, Comal. SD Negeri yang multi etnis dan menjadi favorit pada masanya. Entah kenapa disebut favorit. Yang jelas banyak orang tua berbondong-bondong memasukan anaknya ke sana. Namun bukan itu yang menjadikanya menarik. Tapi nuansa keberagaman yang ada di dalamya.
Lokasi yang Strategis
Letaknya yang strategis di dekat jantung perekonomian mungkin membuatnya cukup diperhitungkan. Bangunannya tidak begitu mewah, namun ia terletak di belakang masjid raya yang bersebelahan dengan pasar. Bagian luar pasar didominasi toko-toko milik orang Chinesse. Sedangakan sisi dalamya terdapat kios-kios milik pedagang lokal. Adapun di sebelah barat SD merupakan perkampungan Arab yang banyak menjual furniture.
Lokasinya yang strategis, terlebih dengan label favorit yang menempel padanya, membuat sekolahku itu menjadi destinasi banyak orang. Orang tua yang menitipkan anaknya disana juga berasal dari multi etnis dan agama. Sehingga tak heran jika aku memiliki banyak teman yang berbeda-beda, baik dari segi agama maupun kesukuanya.
Persahabatan yang Tak Kenal Etnis
Bayangkan, dalam satu kelas saja terdapat tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Juga terdapat beberapa etnis, sepertit Jawa, Chinese, Arab dan Batak. Bahkan ada yang masih keturunan ningrat kraton.
Kebanyakan dari mereka memang sudah lama menetap dan berinteraksi dengan warga lokal. Sehingga dari segi kultural tidak banyak perbedaan yang mencolok. Kami juga biasa berkomunikasi dengan bahasa lokal (Jawa). Namun kami sangat berbeda dari segi fisik, agama, dan nama.
Aku dan warga lokal yang berkulit sawo matang, serta beberapa keturunan Arab yang berkulit putih dan berhidung mancung, menganut agama Islam. Sedangkan beberapa teman Chinesku yang berkulit putih dan bermata sipit menganut agama Kristen.
Adapun teman-temanku yang berasal dari batak dan terkenal tegas sebagian beragama Kristen dan sebagian lagi Katolik. Berbagai perbedaan itu tentu sangat mencolok dalam pergaulan sehari-hari.
Khususnya dari segi nama. Beberapa teman chinesku menggunakan nama baptis. Yang Arab dan Batak menggunakan nama marga. Sedangkan yang keturunan ningrat, masih menggunakan gelar di depan namanya.
Oleh karena itu, absensi kehadiran menjadi moment-moment paling diingat dan menyenangkan. Sebagian nama terdengar aneh di telinga sebagian yang lain. Hal itu kerap kali mengundang gelak tawa, memunculkan rasa penasaran dan berakhir dengan keakraban.
Sepenggal Kenangan Manis
Yang aku ingat, sekolah memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama bagi setiap agama dan etnis untuk mendapatkan hak-hak pendidikan. Misalnya saat ada mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam), maka teman-temanku yang Kristen dan Katolik bebas untuk keluar dan beristirahat.
Namun mereka juga mendapatkan Pelajaran Agama pada waktu lain. Tepatnya di hari Jumat siang, saat anak-anak yang beragama Islam pulang lebih cepat. Begitu pula saat hari Natal dan Idul Fitri, di mana sekolah juga akan libur.
Saat bulan Ramadan tiba, biasanya sekolah akan mengadakan pesantren kilat dan meminta anak-anak beragama Islam mengenakan busana muslim. Namun tetap menganjurkan siswa-siswi non muslim berpakaian seragam seperti biasanya.
Tidak hanya dari pihak sekolah, temanku yang berbeda agama juga sangat menghormati bulan puasa. Aku ingat bagaimana temanku yang Kristen itu berusaha menjauh saat makan siang di bulan puasa. Padahal tidak ada yang menyuruh atau merasa keberatan dengannya.
Dalam pergaulan sehari-hari kami juga saling menghormati waktu ibadah masing-masing. Misalnya saat mengadakan kerja kelompok, atau main ke rumah teman. Temanku yang Kristen akan sangat menghargai dan memberikan aku waktu untuk salat. Dia bahkan bertanya padaku, apakah aku sedang berpuasa sunah, sebelum menyuguhkan makanan. Begitu pula kami yang beragama Islam juga menghindari hari minggu, agar tidak mengganggu ibadah mereka. Wal hasil kami biasanya mengambil waktu sepulang sekolah.
Aku yang Tak Mengenal Toleransi
Apa itu toleransi? Kata-kata itu mungkin asing bagiku dulu. Tapi entah kenapa menjadi familiar akhir-akhir ini. Toleransi digaungkan dimana-mana. Sangat populer, berkembang menjadi issue bahkan berubah menjadi kontroversi. Seakan-akan ia seperti hal baru yang harus diperdebatankan.
Jangan ajari aku toleransi!
Aku memang tak mengenal istilah itu sejak dulu. Dan saat ini perdebatan istilah itu membuatku semakin bingung. Entah definisi apa yang tepat untuknya, apa saja batasannya, dan bagaimana implementasinya. Bagiku kata “Toleransi” hanyalah sebuah Istilah yang sering memperpanjang perdebatan ilmiah.
Jika toleransi kita pahami sebagai sebuah penghormatan atas adanya perbedaan, rasa-rasanya aku dan sahabat-sahabatku sudah mempraktekanya sejak dulu. Tapi kami tidak pernah memperdebatkan istilah tersebut.
Kami biasa hidup bersama dengan perbedaan di dalamnya. Kami hanya anak-anak kecil polos yang suka bercanda, bermain dan sesekali bertingkah konyol. Namun kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan suku, agama dan status sosial yang ada.
Kami memang bersahabat dan bermain bersama, namun tak ada yang mencampuri urusan privat masing-masing jika sudah berkaitan dengan kepercayaan dan kesukuan. Kami juga suka bercanda, namun tak ada yang membawa-bawa nama agama. Terkadang kami juga bertengkar seperti anak kecil pada umumnya, namun tak ada yang menyudutkan suatu etnis di dalamnya.
Seingatku, tak ada satu pun dari kami yang mendapat diskriminasi hanya karena perbedaan sosialnya. Seandainya pun ada yang dikucilkan dalam pertemanan, hal itu biasa terjadi karena perangainya yang buruk, bukan karena perbedaan status sosial, suku apalagi agamanya.
Dengan semangat kebersamaan dalam keragaman yang berhasil kami rawat, hingga saat ini kami masih berhubungan baik. Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, kami masih rutin megadakan reuni setiap tahunnya. Uniknya, acara itu selalu kami adakan di bulan Ramadhan, dengan label “Buka Bersama”. Tapi yang datang tentu bukan orang Islam saja. []