Mubadalah.id – Bagi yang belum mengetahui seputar Mubadalah sebagai sebuah metodologi, berikut ini adalah artikel dengan format Q&A seputar Metode Mubadalah yang dijelaskan secara singkat berikut ini,
Apa Makna Mubadalah?
Mubadalah adalah kata dari Bahasa Arab yang berarti tukar menukar, baik bersifat fisik seperti perdagangan maupun non-fisik seperti perilaku tenggang-rasa. Ia juga berarti timbal-balik, resiprositi, atau kesalingan. Kata ini digunakan untuk sebuah pemahaman dan gerakan perlawanan terhadap segala bentuk nilai dan perilaku yang tiran, hegemonik, diskriminatif dan zalim, dan perubahan untuk norma dan cara pandang mengenai relasi perempuan dan laki-laki yang mengarah pada nilai kesalingan, kesetia-kawanan, kerjasama, kesederajatan dan kebersamaan, demi kehidupan yang lebih baik, adil, damai, dan sejahtera. Tepatnya, untuk kebahagiaan keduanya di dunia dan di akhirat. Keduanya.
Apa itu mafhum mubadalah?
Secara bahasa ia adalah perspektif kesalingan. Secara terminologi bisa didefinisikan sebagai “Prinsip Islam mengenai kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran gender mereka di ranah domestik dan publik, berdasar pada kesederajatan antara mereka, keadilan serta kemaslahatan bagi keduanya, sehingga yang satu tidak menghegemoni atas yang lain, dan atau menjadi korban kezaliman dari yang lain. Tetapi relasi yang saling menopang, saling bekerjasama, dan saling membantu satu sama lain”.
Bisa dijelaskan definisi ini secara singkat?
Dalam penjelasan sederhana dari perspektif mubādalah ini, bahwa jika senyum, keramahan, melayani, dan segala tindakan yang menyenangkan adalah baik dilakukan istri kepada suami, maka ia juga baik dilakukan suami pada istri. Begitupun, jika berkata buruk, tidak pandai bersyukur, menghina, mengumpat, memukul, kekerasan, dan melakukan segala tindakan yang tidak menyenangkan adalah buruk diterima suami dari istri, adalah juga harus dihindari oleh suami agar tidak terjadi pada istri sama sekali. Ini contoh penjelasan dalam kehidupan rumah tangga.
Di ruang publik, perspektif mubādalah meniscayakan adanya kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai warga negara di mata hukum. Sehingga, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, agar bisa saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang baik bagi segenap masyarakat. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus diberi kesempatan yang luas untuk bisa berkontribusi di ruang publik dan mengambil mafaat darinya.
Pada saat yang sama, laki-laki juga harus didorong untuk berkontribusi di ruang domestik dan menikmati keintiman dengan keluarga terutama anak-anak. Tentu saja, tanpa mengesampingkan kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan yang khas antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ada perbedaan di antara individu-individu, terutama yang memiliki kebutuhan khusus.
Mengapa Mubadalah itu Penting?
Kehidupan ini milik laki-laki dan perempuan, karena itu manfaatnya harus dirasakan keduanya. Islam juga turun untuk kebaikan keduanya, karena itu teks-teksnya harus dibaca untuk memastikan keduanya memperoleh kebaikan tersebut. Sementara ini, banyak sekali sisi kehidupan hanya diperuntukan bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan.
Begitupun banyak sekali sisi kehidupan rumah tangga yang dibebankan pada perempuan, tetapi tidak pada laki-laki. Begitupun teks-teks Islam dibaca, lebih banyak, dengan melihat laki-laki sebagai subyek dari teks tersebut dan perempuan menjadi obyeknya.
Bagaimana melihat realitas kehidupan dengan mubadalah?
Misalnya, kita selama ini hanya mengenal konsep tentang istri salihah untuk seorang suami. Tetapi jarang sekali dikenalkan dengan konsep suami salih untuk istri. Kita juga sering ditanamkan asumsi bahwa perempuan adalah penggoda dan penebar pesona (fitnah), sehingga kontrol dan segala jenis pelarangan aktivitas mereka menjadi sah. Kita lupa, bahwa laki-laki juga penggoda dan penebar pesona, dan kita biarkan sekalipuan nyata melakukan segala kerusakan. Kita juga sering menyematkan apresiasi pada laki-laki sebagai bapak rumah tangga dan pencari nafkah. Kita lupa mengapresiasi, bahkan menafikan, ada banyak fakta perempuan yang menopang keluarga. Untuk hal-hal ini, perspektif dan metode mubadalah penting untuk dihadirkan.
Apa Dasar Mubadalah dalam Qur’an?
Ada banyak ayat yang menjadi dasar mubadalah. Di antara yang paling kentara adalah adalah at-Taubah ayat 71.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah, 9: 71).
Ayat ini menegaskan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Dimana yang satu adalah penolong, penopang, penyayang, dan pendukung yang lain. Berbagai kitab tafsir klasik rujukan, baik dari mazhab tekstual (bi al-maʼtsūr) maupun rasional (bi al-raʼyi) mengartikan frasa baʻḍuhum awliyā’ baʻḍin dengan saling tolong menolong (tanāṣur), saling menyayangi (tarāḥum), saling mencintai (taḥābub) dan saling menopang (taʻāḍud). Satu sama lain. Dengan makna-makna demikian, frasa (ba’duhum awliay ba’din) ini menunjukkan adanya kesejajaran dan kesederajatan antara satu dengan yang lain.
Ada banyak lagi ayat-ayat lain, seperti (al-Baqarah, 2: 197; 232; 233, Ali Imran, 3: 195, dan an-Nisa 4: 19) yang secara khusus memenegaskan perspektif kesalingan secara eksplisit antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah sosial maupun rumah tangga. Di samping ayat-ayat umum mengenai pentingnya kesalingan dalam kehidupan, seperti ayat al-Maidah (5: 2) dan al-Anfal (8: 72).
Apa Dasar Mubadalah dalam Hadits?
Sementara teks hadits yang paling inspiratif untuk mubadalah adalah riwayat berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وفي رواية مسلم زيادة: أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وفي رواية النسائي زيادة: مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ، وأما رواية أحمد: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخاري، ومسلم، والترمذي، والنسائي، وابن ماجه، وأحمد).
Dirwayatkan dari Anas ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya”. Dalam riwayat Muslim ada tambahan: “atau untuk tetangganya apa yang dicintai untuk dirinya”. Dalam riwayat al-Nasai ada tambahan: “apa yang dicintai untuk dirinya dari hal-hal yang baik”. Sementara dalam riwayat Ahmad, redaksinya: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya”. (Sahih Bukhari no. 13, Sahih Muslim no. 179, Sunan at-Turmudhi no. 2705, Sunan an-Nasai no. 5034, Sunan Ibn Majah no. 69, dan Musnad Ahmad no. 14083).
Apakah metode mubadalah bisa menjadi metode baca teks?
Ya, dalam hemat saya, mafhūm mubādalah bisa dikembangkan sebagai kaidah penafsiran dalam memaknai teks, terutama yang terkait dengan isu-isu relasi gender. Sehingga, teks yang secara bahasa untuk laki-laki bisa menyasar perempuan, begitupun teks untuk perempuan juga mencakup laki-laki. Selama pesan dari teks tersebut bersifat umum dan mencakup kedua jenis kelamin. Sementara ini, dikotomi antara teks untuk laki-laki dan teks untuk perempuan telah melahirkan berbagai tafsiran Islam mengenai gender yang bersifat absolut, seksis, timpang, dan melestarikan berbagai kekerasan terhadap perempuan. Dikotomi ini juga yang melahirkan kebudayaan dominatif, dari satu jenis kelamin kepada yang lain, hegemonik, dan pada akhirnya juga destruktif.
Bagaimana teknis penerapan metode mubadalah ini?
Jika dihadapkan pada sebuah teks, baik Qur’an maupun Hadits, maka jangan terpaku pada subyek obyeknya yang biasanya mengandung unsur laki-laki dan perempuan. Bahasa Arab sangat kental dengan struktur kata dan kalimat khas laki-laki atau perempuan. Tetapi fokus pada pesan yang ingin disampaikan teks tersebut. Kaitkan pesan ini dengan prinsip-prinsip kesalingan yang bertebaran di berbagai ayat dan hadits yang lain. Lalu berlakukan pesan tersebut secara berkesalingan. Jika secara literal dari laki-laki kepada perempuan, maka secara berkesalingan bisa dari perempuan kepada laki-laki. Sehingga pesan dari teks tersebut bisa diaplikasikan oleh dan untuk keduanya.
Bisa dicontohkan penggunaan metode mubadalah?
Misalnya ayat ar-Rum (30: 21), secara bahasa Arab, ayat itu untuk laki-laki sebagai yang diajak bicara sehingga obyeknya adalah istri. “Allah menciptakan untuk kalian (bahasa Arab “kum” artinya kalian laki-laki) istri-istri agar kalian memperoleh ketenangan dari mereka (istri-istri)”. Ini terjemahan literal. Tetapi pesan utama teks adalah tentang pernikahan yang saling menciptakan ketenangan satu sama lain antara suami dan istri (lihat misalnya QS. 2: 187).
Tehnis tafsir resiprokalnya: ambil pesan utama lalu balikkan subyek dan obyeknya. Jadinya, “Allah juga menciptakan kalian (wahai perempuan) suami-suami kalian agar kalian memperoleh ketenangan dari mereka”. Karena bahasa Indonesia tidak mengenal gender, sebenarnya bisa langsung diterjemahkan yang lebih resiprokal. Yaitu: “Di antara ayat-ayat-Nya, Dia menciptakan untuk kalian semua pasangan-pasangan (pernikahan), agar kalian bisa memperoleh ketenangan dari pasangan tersebut”.
Adakah contoh lain?
Misalnya ayat al-Baqarah (2: 223) bahwa “istri-istri kalian adalah ladang (seks) bagi kalian maka gaulilah sesuai (yang menyenangkan) kalian”. Ini tentu saja tafsir literal dengan melihat teks mengajak bicara para laki-laki dan perempuan menjadi obyek mereka. Jika ingin ditafsirkan secara mubadalah, maka bisa diartikan: “suami-suami kamu, wahai para istri, adalah ladang seks bagi kamu, maka gaulilah sesuai dan dengan cara yang bisa mendatangkan kesenangan kamu”. Ini karena aktivitas dan nikmat seksual, sebagaiman diterangkan berbagai ayat dan hadits, adalah hak bersama antara suami dan istri.
Karena itu, ayat tersebut harus ditafsirkan secara resiprokal. Jika tidak, ia akan timpang, dan perempuan tidak pernah bisa menjadi subyek dalam hal aktivitas dan manfaat seksual. Dus, terjemah pertama adalah tafsir literal, sementara yang kedua adalah tafsir mubadalah/resiprokal. Jika dengan bahasa Indonesia yang lebih netral, terjemahan ayat secara mubadalah bisa demikian: “Pasangan nikah kamu itu ladang seks kamu, maka kamu bisa menggauli mereka sesuai (kesenangan) kamu”.
Apakah metode mubadalah bisa dipakai untuk semua teks?
Secara umum ya, bahkan tidak hanya teks agama tetapi semua teks dan realitas. Karena realitas kehidupan tidak pernah bisa lepas dari identitas laki-laki dan perempuan. Selama kita yakin dengan prinsip dan nilai kesalingan, maka metode itu bisa diterapkan. Tetapi tentu saja, sebagaimana kaidah fiqh “likull qa’idatin mustatsnayat”, maka eksepsi-eksepsi itu juga niscaya. Terutama untuk hal-hal yang bersifat biologis, seperti hamil dan menyusui. Karena itu, kaidah tafsir ini masih perlu penyempurnaan berbagai pihak.
Adakah simpul dari perspektif dan metode mubadalah?
Ya ada, mafhūm mubādalah juga bisa dikembangkan sebagai simpul ajaran dan hukum terkait isu-isu relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Simpul ini biasa dikenal dengan istilah “Kaidah Hukum Fiqh”. Sehingga kaidah fiqh mubādalah bisa dirumuskan dalam kalimat berikut ini:
مَا يَصْلُحُ لِأَحَدِ الْجِنْسَينِ يُجْلَبُ لِكِلَيْهِمَا وَمَا يَضُرُّ بِأَحَدِهِمَا يُدْرَأُ مِنْ كِلَيْهِمَا
“Apa yang maslahat (baik) bagi salah satu jenis kelamin harus didatangkan untuk keduanya dan apa yang mudarat (buruk) bagi salah satunya juga harus dijauhkan dari keduanya”.