Mubadalah.id – Sexual Consent adalah persetujuan kedua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual secara rela, tanpa paksaan dan ketakutan. Sexual consent atau persetujuan untuk berhubungan seksual ini seringkali diabaikan dalam pernikahan. Banyak orang menganggap bahwa hubungan seksual dalam pernikahan adalah halal, maka dalam kondisi apa pun tak perlu mendapat persetujuan.
Kondisi ini lebih banyak merugikan perempuan karena kebanyakan laki-laki tak mampu menahan nafsunya sedang perempuan dituntut untuk melayani. Banyak hadits dan narasi yang digunakan untuk memojokkan perempuan.
Banyak yang mengatakan bahwa seorang istri yang menolak melayani suaminya akan dikutuk malaikat sampai shubuh. Banyak narasi juga yang mengatakan bahwa istri harus melayani hasrat suaminya apa pun kondisinya.
Saya tak ingin membahas tentang ini, tapi mari kita bahas tentang spiritualitas hubungan seksual suami istri. Hubungan seksual sejatinya bukan hanya tentang nafsu dan hasrat hayawaniyah. Bagaimana mungkin hubungan yang hayawaniyah justru menjadi perantara terciptanya makhluk Tuhan? Bagaimana mungkin hubungan yang berupa nafsu belaka menjadi awal dari ditiupkannya ruh oleh Tuhan?
Artinya hubungan seksual adalah hubungan suci yang melibatkan keterhubungan dengan Sang Maha Kasih. Cinta yang diekspresikan dengan hubungan seksual pun merupakan cinta yang bersumber dan Sang Maha Cinta. Lantas apakah hubungan yang sakral itu akan dilakukan dengan cara yang hina?
Spiritualitas diperoleh dengan kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan. Hubungan seksual bukanlah suatu aktivitas fisik, namun juga ruhani. Aktivitas yang terjadi karena kehendak Tuhan dengan cara yang dikehendaki Tuhan.
Untuk itu hubungan seksual yang suci ini seharusnya tidak hanya menyangkut halal saja, namun juga harus ma’ruf dan thayyib. Bu Nur Rofiah dalam ngaji KGI menjelaskan bahwa perempuan mengalami pengalaman biologis yang sangat menyakitkan, ini disebutkan juga dalam Al Qur’an.
Sedangkan laki-laki tak akan pernah merasakan pengalaman biologis perempuan. Namun laki-laki bisa belajar memahami pengalaman biologis perempuan. Ada yang sakit sekali saat pra menstruasi, pasca nifas, jahitan yang belum membaik sempurna, sakit saat hamil, dan sebagainya.
Maka Bu Nyai Nur Rofiah mengatakan bahwa hubungan harus dilandasi dengan ma’ruf dan thayyib. Jika hanya membahas halal, maka hubungan seksual sudah boleh dilakukan dalam kondisi seperti itu. Tapi spiritualitas mewajibkan kerelaan dari kedua belah pihak.
Spritualitas harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti kedua pihak. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan perasaan bahagia agar tercapai ketenangan. Pun dalam pelaksanaannya, tidak boleh ada paksaan atau cara yang kasar.
Cara yang tidak ma’ruf dan thayyib justru merendahkan kualitas hubungan seksual tersebut. Maka seksual consent atau persetujuan kedua belah pihak adalah syarat utama dalam sebuah hubungan. Prinsip persetujuan menunjukkan kerelaan kedua belah pihak.
Setiap pasangan harus saling memahami kondisi satu sama lain demi tercapainya hubungan yang halalan, ma’rufan, dan thayyiban. Pernikahan bukanlah suatu jalan untuk menghalalkan hasrat seksual. Dalam pernikahan kita meletakkan hubungan seksual dalam ruang yang suci.
Namun ruang suci tak bisa diwujudkan tanpa halal, ma’ruf, dan thayyib. Misalnya ketika perempuan sedang menstruasi, suami haram melakukan penetrasi. Maka, dalam pernikahan belum tentu hubungan seksual itu selalu halal.
Dalam kondisi ini perempuan sering dituntut untuk senantiasa melayani suaminya. Padahal saat menstruasi perempuan mengalami sakit yang luar biasa, jika menganut prinsip ma’ruf dan thayyib maka suami tak seharusnya memaksa istrinya melayaninya. Apalagi sampai melakukan hubungan yang dilarang dengan lewat belakang.
Lalu dalam kondisi pasca nifas, seorang suami sudah halal melakukan hubungan dengan istrinya. Namun pasca melahirkan perempuan mengalami sakit, dari mulai jalan lahir yang sobek dan dijahit, sakit pasca proses melahirkan, puting yang luka karena menyusui, kelelahan karena begadang dan mengasuh anak.
Maka hubungan yang ma’ruf dan thayyib akan membuat suami meringankan beban istri. Memijit, memberikan fasilitas massage dan spa, memenuhi segala kebutuhannya, bergantian mengasuh, memberi waktu istirahat alih-alih menuntut untuk dilayani.
Apa yang akan kita capai dari pernikahan dan bagaimana kita memandang pernikahan? Jika kita menganggap pernikahan sebagai jalan spiritualitas maka kita akan berhenti menyakiti dan memaksa pasangan untuk berhubungan. Pernikahan akan menjadi jalan menuju spiritualitas jika dijalankan dengan cara yang baik. Pernikahan dan hubungan seksual akan menjadi jalan spritual jika melibatkan Tuhan dalam segala tindakannya.
Demikian penjelasan sexual consent dan nilai spiritualitas pasangan suami istri. Semoga bermanfaat. []