Joko Tingkir ngombe dawet
Jo dipikir marai mumet
Ngopek jamur nggone Mbah Wage
Pantang mundur, terus nyambut gawe
Pantang mundur, terus nyambut gawe
Mubadalah.id – Lirik lagu “Joko Tingkir” yang Yeni Inka nyanyikan tadi tengah menuai kontroversi karena pencatutan nama Joko Tingkir. Sebagai ikon dakwah Islam Nusantara, Joko Tingkir dicatut sebagai sampiran lagu dangdut koplo. Tak ayal, beberapa pihak menyayangkan pencatutan tadi karena anggapannya kurang pantas mengingat sosok pemilik nama tersebut merupakan kakek buyut dari para ulama tanah Jawa.
Dugaan pro-kontra lirik berkenaan dengan pasal etika. Sebab, Joko Tingkir adalah ulama dan kakek buyutnya ulama-ulama NU. Untuk lirik sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Yang kita sayangkan hanyalah setting dan konteks lagu tadi di mana kerap mereka dendangkan sebagai lagu dangdut koplo.
Melihat polemik penyebutan nama Joko Tingkir yang untuk melengkapi lirik lagu, Makyun Subuki, pakar linguistik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melihat bahwa sejatinya ada fenomena tersirat di balik situasi ini: masyarakat kita sejatinya kurang mengenal sosok Joko Tingkir sesungguhnya. Sehingga, keawaman tersebut membuat mereka dengan mudahnya mencatut legenda dakwah Islam Jawa ini sebagai sampiran lagu.
Padahal, sesungguhnya bila tahu bagaimana sepak terjang Joko Tingkir di masa lalu, kita jamin akan segan dan pantas untuk memberikan hormat apreasiatif pada beliau.
Sejarah Joko Tingkir
Joko Tingkir memiliki nama kecil Mas Karebet. Ia adalah nama muda dari Sultan Hadiwijaya, seorang Sultan dari Kerajaan Pajang. Mas Karebet merupakan putra Ki Ageng Pengging, cucu Adipati Andayaningrat. Ki Ageng Pengging sendiri lahir dari keluarga Hindu. Ia memutuskan masuk Islam dengan belajar dari Syeikh Siti Jenar. Meski berasal dari keluarga bangsawan, ayah Joko Tingkir hidup sederhana sebagai petani dan kerap membela orang-orang pinggiran.
Karakter bersahaja ayah Joko Tingkir kemudian menurun pada anaknya. Sebelum menjadi pemimpin, semasa muda Mas Karebet merupakan sosok yang gemar bertapa. Dari sana lah ia kemudian mendapat julukan Joko Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Selain menimba ilmu dari Sunan Kalijaga, ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Berdasarkan Babad Tanah Jawi yang dikutip dari Maulana (2015), Joko Tingkir sempat mengabdi di ibu kota Kerajaan Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Atas kinerja baiknya, Jaka Tingkir yang pandai, kemudian menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Tak lama setelah mengemban amanah, Jaka Tingkir menerima tugas untuk menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Tergelitik akan kemampuan Dadungawuk, Jaka Tingkir pun menguji kesaktiannya hingga mengakibatkan Dadungawuk tewas. Atas tindakannya yang menelan korban jiwa, Jaka Tingkir pun dipecat dari jabatan ketentaraan dan terusir dari Demak.
Mendapat nasib yang naas tak membuat Joko Tingkir menyerah, ia tetap menuntut ilmu. Selanjutnya, ia berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Dakwah Islam di Nusantara
Sekembalinya Joko Tingkir ke Demak, Kerajaan Demak menghadapi dinamika kekuasaan yang kompleks. Puncaknya, tiga generasi kekuasaan Demak harus berakhir dengan meninggalnya Sultan Trenggono dan tergantikan oleh menantunya, yakni Joko Tingkir.
Namun kemudian Joko Tingkir memilih untuk memindahkan kekuasaannya dari Demak ke Pajang. Di sana, Joko Tingkir memposisikan Kerajaan Pajang sebagai pusat pendidikan dari berbagai cabang ilmu, dari ilmu agama, pemerintahan hingga ilmu perang.
Pusat keilmuan yang Joko Tingkir bangun juga tak mengenal diskriminasi. Semua orang bisa belajar dan mengajar. Bahkan para bangsawan turut menuntut ilmu di sana, di antaranya adalah Putra Mahkota Kerajaan Sumedang, Pangeran Angkawijaya atau yang kita kenal sebagai Prabu Geusan Ulun.
Meneladani kiprah dakwah Sunan Kalijaga, Joko Tingkir juga melanjutkan dakwah kebudayaan Islam yang diinisiasi oleh Sang Guru. Ia melanjutkan penyebaran nilai-nilai Islam lewat budaya lokal yang menggerakkan masyarakat setempat.
Dalam memberlakukan tata tertib di lingkungannya, ia mengkombinasikan prinsip-prinsip Islami dengan budaya Jawa. Salah satu ajarannya yaitu, Ngelmu Kasantikan di mana ia menekankan bahwa seseorang perlu menjadi bijaksana untuk mencapai kesempurnaan hidup. Melalui metode dakwah Islam tadi, Joko Tingkir pun kita kenang sebagai teladan yang mampu memberikan contoh bagaimana menjadi Muslim yang baik. []