Mubadalah.id – Beberapa Minggu terakhir, banyak media yang menyoroti pesantren. Mulai dari bangunan hingga kehidupan di dalamnya. Berbagai isu telah berhasil terlontarkan oleh media ke pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Isu tersebut telah berhasil menuai kontroversi di kalangan masyarakat.
Salah satu berita kontroversi yang ada di masyarakat adalah ketika Trans7 dengan secara frontal menyudutkan satu pihak dengan tagline “pesantren adalah feodal” dan menayangkan kebiasaan santri di hadapan kyainya yaitu sikap tubuh merunduk.
Hal ini tentu banyak menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Banyak masyarakat yang membela pesantren dengan mengatakan bahwa memang itu etika sopan santun. Tapi di lain pihak justru menyudutkan pesantren dengan mengatakan bahwa perilaku tersebut merupakan feodal.
Atas dasar itu, perlu kita ketahui terlebih dahulu apa itu etika dan bagaimana bisanya terbentuk budaya etika yang sedemikian rupa berbeda. Begitupun dengan feodal, apa sebenarnya yang dimaksud feodal. Benarkah budaya pesantren adalah feodal?
Etika sopan santun merupakan sikap atau watak yang terbentuk atas kesepakatan sosial serta memiliki nilai. Pengertian ini dapat kita perkuat melalui teori relativisme etika yang mengatakan bahwa nilai-nilai etis terbentuk oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama.
Sedangkan feodal dapat kita maknai dalam dua sudut pandang, yaitu sudut pandang politis dan sosiologis. Dalam sudut pandang politis, feodal berarti tentang kekuasaan tanah yang terpusat pada raja. Pada sudut pandang sosiologis, feodal merupakan struktur masyarakat yang didominasi oleh hierarki sosial yang kaku. Di mana status seseorang ditentukan oleh keturunan (bangsawan) dan bukan oleh prestasi atau kemampuan.
Jadi sikap tubuh santri merunduk kepada kyai itu etika atau feodalisme?
Etika merunduk yang santri lakukan di hadapan kiai merupakan cerminan dari tata nilai dan adab yang hidup dalam tradisi pesantren. Sikap tersebut tumbuh dari kebiasaan sosial dan keyakinan yang menempatkan kiai sebagai sosok yang kita hormati karena kedalaman ilmunya dan keteladanan moralnya.
Dalam kehidupan pesantren, merunduk bukan sekadar gerak tubuh, melainkan simbol kerendahan hati, dan penghormatan terhadap ilmu. Selain itu pengakuan terhadap peran kiai sebagai pembimbing spiritual.
Tindakan ini telah menjadi kesepakatan sosial yang terwariskan secara turun-temurun dan kita hayati bersama sebagai wujud kebaikan moral. Oleh karena itu, nilai kesopanan yang melekat pada perilaku merunduk merupakan bagian dari etika kolektif yang terbangun melalui pengalaman dan kehidupan bersama di lingkungan pesantren.
Budaya merunduk santri di hadapan kiai tidak dapat kita pahami sebagai bentuk feodalisme. Dalam sistem feodal, penghormatan kita berikan berdasarkan hierarki sosial dan kekuasaan, di mana seseorang kita hormati karena kedudukan atau status yang lebih tinggi.
Sementara dalam tradisi pesantren, penghormatan santri terhadap kiai bersumber dari rasa cinta dan hormat kepada ilmu, bukan karena perbedaan kelas sosial. Kiai kita hormati karena keilmuan dan ketakwaannya, bukan karena memiliki kekuasaan atas santri.
Dengan demikian, etika merunduk tidak menunjukkan ketundukan struktural sebagaimana dalam sistem feodal, melainkan menegaskan hubungan spiritual antara murid dan guru. Tradisi sopan santun ini justru memperlihatkan keseimbangan antara kerendahan hati dan penghargaan terhadap pengetahuan, yang menjadi ciri khas adab Islam dalam kehidupan pesantren.
Peradaban Pesantren
Budaya etika ini layak kita pertahankan karena merupakan warisan luhur peradaban pesantren yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang santun, beradab, dan menjunjung tinggi nilai penghormatan terhadap ilmu. Dalam konteks modernisasi yang sering menekankan kesetaraan tanpa batas, tradisi semacam ini menjadi pengingat bahwa kesopanan dan adab tidak boleh hilang dari pergaulan manusia.
Etika merunduk tidak hanya memiliki makna simbolik dalam hubungan guru dan murid, tetapi juga mengandung nilai pendidikan moral yang membentuk kepribadian. Yakni rendah hati, berempati, dan berjiwa hormat terhadap sesama. Jika budaya ini ditinggalkan, maka yang hilang bukan hanya tata cara sopan santun, melainkan akar moralitas dan spiritualitas yang selama ini menjadi ruh kehidupan pesantren dan bagian penting dari identitas keislaman Indonesia.
Mempertahankan tradisi etika merunduk berarti menjaga kesinambungan nilai-nilai luhur yang telah menjadi fondasi moral masyarakat Nusantara. Dalam arus globalisasi yang cenderung meniadakan batas-batas budaya, pesantren berperan penting sebagai penjaga peradaban adab.
Tradisi ini perlu terus kita ajarkan, tidak sekadar sebagai ritual penghormatan, tetapi sebagai bentuk pendidikan karakter yang menghidupkan rasa takzim dan kebersahajaan. Warisan ini menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus menghapus nilai-nilai lama, tetapi justru menumbuhkannya dalam bentuk yang kontekstual dengan zaman.
Dengan demikian, etika merunduk santri di hadapan kiai bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan cermin peradaban Islam Nusantara yang perlu kita lestarikan. Tujuannya agar generasi mendatang tidak kehilangan akar moral dan budi pekerti yang menjadi ciri khas bangsa. []