Mubadalah.id – Duka mendalam kembali terjadi atas peristiwa teror bom bunuh diri di depan gereja Katedral Hati Yesus Maha Kudus di Makasar. Peristiwa kekerasan ini seolah kembali menampar wajah bangsa yang mengaku warganya religus dan ramah. Ternyata bangsa ini belum berhasil menciptakan kondisi yang mencegah munculnya tindak kekerasan brutal yang meneror, meski berbagai upaya dari pihak keamanan maupun secara khusus oleh Badan Penanggulangan dan Pencegahan Terorisme, yang bekerjasama dengan berbagai lapisan masyarakat sudah dilakukan.
Peristiwa brutal yang menyasar tempat ibadah umat Kristiani ini tentu sangat menghancurkan rasa aman, terutama bagi umat Kristiani, yang tempat ibadahnya menjadi sasaran teror. Suasana batin kehilangan rasa aman ini makin traumatis karena peristiwa berulang kali. Perasaan khawatir, sedih sekaligus marah sangat adakalanya terekspresi yang kadang muncul tak terduga, dan ini perlu direspons dengan empati. Yang dibutuhkan adalah empati dan solidaritas dari umat dan masyarakat di luar kalangan korban.
Dalam situasi psikologis seperti ini dapat dipahami oleh banyak warga dan netizen khususnya dari kalangan Kristiani yang menunjukkan rasa kecewa atas pernyataan pemerintah dan tokoh muslim yang menyerukan, agar peristiwa teror ini tidak dikaitkan dengan ‘agama tertentu’. Dalam pernyataan seperti ini seolah-oleh si teroris tidak ‘ada hubungan dengan agama Islam’, ini mengandung makna penyangkalan. Karena sudah diketahui umum pelaku adalah muslim, sekurang-kurangnya di KTP dan dalam cara beribadah mereka.
Bagi kalangan korban, pernyataan mengandung penyangkalan mengkhawatirkan dapat mempengaruhi kesungguhan dalam upaya pemberantasan terorisme. Mengapa harus disangkal? Meski di sisi lain kenyataannya umat Islam berpandangan bahwa tindakan teror adalah tindakan melawan ajaran Islam meski pelaku menggunakan ayat Quran sebagai dalil, namun bagi muslim kebanyakan penggunaan ayat-ayat itu tidak tepat. Apalagi tindakan bunuh diri termasuk tindakan yang diharamkan dalam Islam.
Apakah ada signifikasinya mengakui secara verbal dan diumumkan pada publik bahwa pelaku terorisme beragama Islam bagi upaya mencegahan tindak terorisme ini? Sesungguhnya banyak lembaga sosial keagamaan Islam, NGO dan pemerintah sedang getol mensosialisasikan moderasi beragama, yaitu mendiseminasikan paham keagamaan yang toleran, emoh kekerasan, cinta tanah air dan peduli dengan budaya lokal.
Banyak pula ulama, akademisi dan pegiat pendidikan yang berupaya mewujudkan tarsformasi pendidikan agama agar paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat adalah paham terbuka berdialog dengan relitas sosial yang berubah dan realitas kemajemukan.
Ada banyak dasar argumen al-quran dan hadits yang terkait relasi dengan pihak lain yang berbeda yang sering diangkat dalam rangka moderasi beragama ini. Jangankan membunuh seorang manusia tak berdosa, kebiasaan berkata buruk saja dapat dianggap tidak beriman. Karena ajaran pula ini banyak muslim menolak pelaku terorisme. Bahkan karena dianggap melawan ajaran Islam ini pernah beberapa kali terjadi pelaku terorisme yang meningal ditolak dikubur di kampung halamannya sendiri, meski tentu ini sikap yang berlebihan.
Salah satu ayat al-quran yag biasa diangkat dalam moderasi beragama misalnya, adalah al Maidah 32:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Al Maidah 32)
Tidak berlebihan kiranya dikatakan berbagai upaya diseminasi moderasi beragama di kalangan Islam tidak lain adalah bentuk yang konkret dari sebuah pengakuan, bahwa ada yang perlu dibenahi dalam penanaman ajaran Islam. Pembenahan dilakukan agar umat Islam terbebas dari paham intoleran yang dapat memicu kebencian dan tindakan kekerasan terhadap mereka yang beda keyakinan.
Namun bila pernyataan para elit pada publik bahwa teroris bersangkutan adalah muslim dianggap memberi penegasan bahwa upaya pemberantasan tidak teror sungguh-sungguh, hal ini tidak akan mengurangi apa-apa bagi muslim pada umumnya, karena berbagai langkah moderasi toh sudah mulai diupayakan. Pernyataan yang dipahami sebagai wujud kesungguhan ini juga sebagai bentuk solidaritas.
Aksi nyata memberi dukungan moril melalui ungkapan yang menguatkan secara langsung atau melalui media sosial sangat dihargai, agar korban teror tidak merasa sendiri, melainkan merasa dirangkul oleh saudara-saudara sebangsa. Sebaliknya sikap menyelenggarakan perbincangan secara reaktif dengan perdebatan membanding dan mempertanyakan, misalnya, ‘mengapa kalau pelaku pengeboman bukan muslim tidak disebut teroris?’, dalam situasi banyak orang merasa terluka saat ini bukan waktu yang tepat dan tidak akan memperbaiki keadaan.
Menunjukkan solidaritas dengan empati pada korban dan kelompoknya yang merasa kehilangan rasa aman, akan sangat berguna menjaga persatuan bangsa sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan. Justru dalam situasi sulit seperti ini, ketika ego kelompok dapat dinetralisir, dan disalurkan pada mengutamakan persatuan, makin mengokohkan modal sosial untuk maju bersama. []