Mubadalah.id – Musim dingin membuat gigiku gemeratak. Kutemui medan salju yang hebat dan hiburan setelah bermain ski. Hari ini aku tersenyum sangat lebar. Ya, aku ingin hari ini segalanya berjalan dengan lancar karena ada sebuah kebahagiaan mendalam di baliknya. Meluncur di area salju sambil memejamkan mata rasanya menyegarkan seperti Tuhan memberiku banyak waktu untuk mengenalnya. Ternyata susah-susah gampang untuk bermain ski.
Hari ini aku mulai memasuki kelas, bersiap untuk belajar dan menampung ilmu. Sepanjang perjalanan, kondisi pagi ini mampu menghipnotisku. Butiran butiran salju bergulir dari langit, jatuh perlahan memutihkan jalanan di Boundary Road. Masyarakat menyambut dengan gembira.
Meski belum lebat, salju tipis telah menyapaku. Sesampainya di pintu gerbang sekolah, terpampang pamflet pelajar berprestasi dalam bulan ini. Majalah dinding dari satu ke yang lain dipenuhi oleh siswa. Menjadi pelajar berprestasi adalah sebuah privilege di Brisbane State High School.
“Ciye, fotonya terpampang,” ucap salah satu siswa yang tiba-tiba lewat di hadapanku.
Sebetulnya, aku juga menginginkan hal tersebut. Namun gagal, selalu memperoleh 20 besar tiap jenjang. Di sekolah kami selain mengutamakan sikap, juga mengutamakan apresiasi siswa. Kami berada di lingkungan sekolah yang heterogen. Sekolah ini tidak hanya menerima masyarakat lokal atau sekitar, pelajar di penjuru dunia pun bisa belajar di Brisbane State High School. Aku salah satu pelajar dari Indonesia.
“Tamy, congrats for your achievement! Nice to hear that,” salah satu teman sekelasku memberi selamat. Ia langsung memelukku seketika. Dia, Irene. Tampaknya ia juga bahagia, entah fotonya terpampang atau tidak, Irene juga salah satu dari siswa berprestasi di bidang seni.
Dengan personality pecaya diri, koridor demi koridor kulewati. Aku mengamati wajah dari tiap insan yang berjalan, semua bahagia dan memberi selamat pada 10 besar pelajar berprestasi tersebut. Ya, kami selalu diingatkan untuk berkompetisi secara sehat.
“What happen with your hair, Tamy? Are you ok?”
Waah ada apa ini? Apa yang terjadi dengan rambutku? Panik sekali, padahal aku sudah mengupayakan melangkah dengan anggun penuh gaya pada pagi ini seolah perempuan muda bergelimang uang. Kutarik masker dari tas ransel ku, lalu menuju kamar mandi. Sesampainya, aku teriak sekencang mungkin hingga siswi yang berada di kamar mandi kaget dan keluar.
Mereka hanya menggelengkan kepala. Dosa apa yang telah kuperbuat pagi ini? Kurapikan terlebih dahulu rambutku. Padahal kemarin aku sudah yakin dengan hasil cat rambut sendiri, model cat rambutku sebenarnya tidak begitu buruk. Highlight dengan teknik balayage, waah menarik didengarnya. Kuingat kembali, apa ada yang salah dengan caraku ya?
Padahal pengaplikasiannya sudah pas, warna lebih tipis di bagian pangkal rambut dan gradasi lebih tebal menuju ujung rambut. Ah sudahlah! Aku menarik dan menghembuskan napas untuk mengembalikan kepercayaan diriku.
Bel masuk sekolah berdering. Sepertinya aku harus mencari ide, agar rambutku tak terlihat mengerikan. Benar-benar memalukan walaupun sudah kucoba untuk percaya diri. Pembelajaran demi pembelajaran telah terlewati.
“Tamy, do you have free time today?” tanya Irene kepadaku. Batinku, waah kacau sekali hari ini!
“I’m sorry, I have to go home right now,”
“Yaah, it’s ok. Take care.”
Kadang bingung sendiri dengan Irene, dia tidak berkomentar apapun tentang penampilanku hari ini. She only says congrats to me. Di Brisbane, aku tinggal bersama Bibi Dewi, adik perempuan dari Ibuku. Kebetulan sekali, keluarganya tinggal dan bekerja di wilayah Brisbane.
Hal semacam ini tentu kumanfaatkan untuk explore lebih jauh salah satunya mencari ilmu. Menjelang sore, aku harus menghampiri kakakku di Stasiun Roma Street. Ia sengaja datang kemari karena sedang libur kuliah.
Sesampainya di stasiun, aku menemukan seseorang yang menggunakan seragam sepertiku. Aku penasaran dengan orang tersebut lalu kubuntuti saja ia. Oh, ternyata ia sedang asik duduk di tempat tunggu. Dua jam berlalu, kenapa yang ditunggu tak kunjung datang? Apakah ia hanya menenangkan diri di tempat semacam ini?
Ah sudahlah, ini hanya asumsiku saja, memangnya ia sedang menunggu seseorang, memangnya ia sedang menenangkan diri. Kita mana pernah tahu. Layar gawaiku berdering, telepon dari Kak Adra. Aku kembali ke tempat sesuai yang diminta oleh Kak Adra.
Sepanjang melewati koridor Stasiun Roma Street, bagiku, ini instagramable.
Stasiun Roma Street merupakan stasiun besar dalam kota, menariknya lagi, terdapat penambahan stasiun bawah tanah berkapasitas tinggi yang dapat menghubungkan penumpang dengan jaringan bus dan kereta api pinggiran kota yang ada, serta layanan bus dan kereta regional dan antarnegara bagian.
“Telat banget datangya,” ucap Kak Adra.
“Padahal tidak seberapa telat ini, Kak,” aku berusaha membela diri. “Yuk, segera pulang, Kak!” ajakku sembari menggandeng tangannya.
Tiap sore, aku selalu mengunjungi stasiun tersebut. Walaupun hanya membeli roti dan makan sambil menikmati berlalu lalang para penumpang. Keesokan harinya, aku mencari salah satu siswa yang sempat kutemui di Stasiun kemarin.
Jujur, aku belum pernah menjumpainya ketika berada di sekolah. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi hari ini, akankah berjalan sesuai rencana atau justru porak poranda. Sebab menurutku, hidup itu indah karena ia berantakan dan tak berpola, tak bisa ditebak dan tak bisa diduga.
“Are you ok?” aku menyapa terlebih dahulu kepadanya.
“Who are you?” tanyanya dengan perasaan kaget. Langsung saja kuperkenalkan diri seperti nama dan rumahku. Aneh, mengapa aku menyebutkan alamat rumahku.
“I’m waiting my mom,” ia hanya berucap singkat dan meninggalkanku begitu saja.
Ternyata tidak ada hasil apapun hari ini tentangnya. Nampaknya, ia bukan siswa biasa, entah mengapa sepenasaran ini.
Hingga kutermenung dan menatap fajar di pucuk semesta, bertanya tentang banyak hal pada diri sendiri. Aku berusaha merangkai memori tentang hal-hal yang telah terjadi. Tentang siapa yang hanya singgah lalu memutuskan pergi serta tentang orang-orang yang tetap bersamaku dan mendukung mimpiku hingga saat ini.
Pujian berupa siswa berprestasi, bagiku tak mudah didapatkan. Usaha yang kulakukan begitupun kemampuanku, meningkat tak seperti lereng. Kemampuan meningkat seperti tangga dan terkadang merasa ingin menyerah di titik tertentu. Memang, bukan hanya pujian yang kuharapkan. Banyak sekali hingga tak terhitung.
“Hi, Tamy. How smart you are!”
Setiap kali mendapat ucapan tersebut di sekolah, tak lupa aku juga mendoakan mereka. Seketika aku melihat sosok siswa yang pernah kutemui di stasiun waktu itu, langsung saja kukejar dengan menghiraukan ucapan-ucapan selamat selanjutnya, namun tetap senyum manis terpancar.
“Sorry, can I have your name?” tanpa basa-basi kupegang pundaknya. Sontak, ia kaget. Akupun meminta maaf sekali lagi padanya.
“I thought, I met you at the station. Right?”
“Exactly. I’m Tamy and you?”
“I’m Leisha. Any necessary with me?” Jawabnya dengan ketus.
Tiba-tiba saja mendekat ke wajahku lalu mencium aroma seperti mengendus sesuatu dalam diriku. Aku hanya terdiam, takut terjadi sesuatu bila menyingkirkannya. Hingga akhirnya ia menarik diri untuk pergi dan berlari.
Aku berada di titik bifurkasi dengan debaran jantung yang tak henti. Ada apa dengan sikap Leisha? Mengapa aku merasa resah? Semakin melangkah, aku sadar kalau aku semakin kecil. Kemanapun arah jejak kaki kita, gesekan itu selalu ada. Jadi susah kalau menuntut harus selalu jadi juara.
Tapi akan lebih baik kalau kita bisa terus melakukan apa yang kita mau tanpa menghiraukan mereka. Namun kali ini terlalu sulit untukku? Pikiranku sudah berada dimana-mana, aku bahkan berasumsi bahwa Leisha tidak memiliki motivasi, emosi yang tinggi, tidak bisa berbicara dengan normal, tidak suka terlibat dengan sosial dan kurang bisa mengendalikan emosi.
“Aih, apa peduliku padanya?” batinku.
Suasana hati berubah tidak wajar semacam timbul fase manik yang seolah-olah aku berhalusinasi. Malam ini pukul 2 pagi, aku terbangun. Mengingat kembali, barangkali aku melewatkan satu-dua hal yang mengakibatkan terganggunya tidurku malam ini, hingga berakhir dengan percakapan seorang diri.
“Tamy, ada apa kamu terbangun pukul sekian?” tanya Kak Adra kepadaku.
“Eee.. Tidak ada, hanya saja mimpi buruk.” Jawabku dengan bepikir. Lalu Kak Adra berpaling dari ruang tidurku.
Aku takut jika terlalu terbuai dengan segala bentuk kasih yang terlihat damai. Bahkan bertanya tentang banyak hal pada diri sendiri seperti berusahan merangkai memori tentang hal-hal yang telah terjadi.
Keesokan harinya aku menanyakan sesuatu kepada kakak lelakiku, “Kak Adra, kemarin ketika kita berada di stasiun, kita ketemu sama siapa aja ya, Kak?”
“Hah? Memangnya kita ketemu sama siapa? Bukannya hanya kamu dan kakak ya?”
“Oh, gitu ya, Kak. Baiklah. Aku berangkat dulu yaa.”
Aneh sekali, hari ini aku merasa susah fokus bahkan sulit mengingat hal sederhana. Banyak sekali hal-hal di luar rencana yang kualami, tenagaku pun habis untuk menghadapi kejadian di luar prediksi.
“Apakah aku harus menemui perempuan seusiaku di stasiun waktu itu?”
Sepulang sekolah, aku kembali menuju Stasiun Roma Street, berharap menemukan sesuatu yang berarti. Dua jam berlalu, aku berkeliling dari lorong ke lorong.
“Tamy, what are you doing here?”
“Leisha?”
“No, I’m not Leisha. It’s me, Irene. Go with me, right now. You seem directionless and like a freak.”
“Please, tell me that what happened today would be fine.”
Aku memeluk Irene dengan erat dan tak ingin ia pergi, perasaan takut dan cemas tiba-tiba menghampiriku. Semacam kulminasi akut dalam diri ini, semakin hari sulit untuk konsentrasi. Bahkan sering salah menyebut nama orang. Irene mengantarku pulang, memastikan sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja.
Kulihat layar gawai, sepuluh panggilan tak terjawab dari Kak Adra. Sengaja tak menelepon balik karena ingin istirahat sejenak sembari menyerana kondisi yang terjadi akhir-akhir ini.
“Tamy, tolong buka pintu kamar!” suara kak Adra membangunkan lamunanku. Bergegas, ku membuka pintu untuknya.
“Tamy, kalau ada apa-apa dan sesuatu yang buruk, segera cerita ke kakak ya.”
“Iya, kak.” Ucapku singkat dengan menganggukkan kepala.
Beberapa pertempuran terbesar telah terjadi di dalam ruang sunyi jiwaku sendiri. Benar adanya bahwa kecemasan dan ketakutan yang tidak terekspresikan tidak akan pernah mati. Mereka dikubur hidup-hidup dan akan tampil nanti dengan cara yang lebih buruk. Aku tahu, aku tak bisa mengarahkan angin, namun setidaknya bisa mengatur layarnya.
Satu pekan, aku mengurung diri di kamar, suara-suara aneh menyelimutiku tiap malam, bahkan bayang-bayang Leisha menampakkan diri pagi ini. Apa yang coba ditunjukkan ini kepadaku? Aku masih ingin menjalani kehidupan yang otentik dan bermakna lalu mencerminkan keinginan, nilai, dan kebutuhan terdalamku.
“Tamy, kamu harus sadar bahwa kebahagiaan sejati ada di dalam dirimu. Jangan buang waktu dan tenaga untuk mencari kedamaian dan kepuasan serta kegembiraan di dunia luar.” Ucap kak Adra. Lalu aku menangis sesenggukan di bahu kak Adra. “Dan jika kamu ingin menaklukkan kecemasan hidup, hiduplah pada saat ini, hiduplah dalam napas.” Tambahnya.
Perasaan berubah cepat datang dan pergi seperti awan di langit yang berangin. Bernapas dengan dalam dan bergerak dengan harmoni. Kini, napas adalah jangkarku. []