Mubadalah.id – Dalam Islam, stigmatisasi atas seksualitas perempuan muncul belakang, termasuk saat lahirnya kelompok-kelompok Islam fundamentalis dalam beberapa waktu terakhir ini.
Isu jilbabisasi adalah isu pertama yang mencuat. Kemudian isu-isu perempuan yang lain. Isu paling menyolok dan fenomenal adalah pornografi dan pornoaksi serta perda-perda kesusilaan. Semua isu ini ingin diserahkan dan ditangani hegara dengan mendesakkan wacana keagamaan konservatif.
Wacana keagamaan yang diusung gerakan fundamentalisme (sering juga dikatakan Islam garis keras) ini, secara umum, mengambil basis dan teori keagamaan ala Islam Saudi Arabia yang memiliki kecenderungan kuat membatasi seksualitas perempuan jauh lebih ketat. Bahkan skriptual dan konservatif daripada aliran Islam Syafi’i dan aliran fiqh yang lain.
Islam ala Saudi Arabia mengambil pikiran-pikiran mazhab Ahmad bin Hanbal (w. 855 M), yang kemudian ia elaborasi dengan cemerlang oleh Muhammad bin Abd al Wahab (1703-1791 M).
Karena itu gerakan ini sering kita sebut “Wahabiyah” (Wahabisme). Tokoh ini terkenal dengan gagasan “purifikasi” Islamnya dengan mengembalikan Islam ke abad pertengahan. Gerakan puritanisme mereka tidak hanya untuk Indonesia, melainkan juga melintasibatas negara bangsa (transnasional).
Dalam konteks Indonesia yang tengah terpuruk, gerakan Islam fundamentalis ini mampu mempengaruhi secara signifikan wacana keberagamaan masyarakat muslim Indonesia yang moderat itu.
Tidaklah mengherankan jika gerakan mereka terutama dalam mengusung isu-isu seksualitas perempuan, mendapat respon yang luar biasa dari banyak pihak. Terlepas dari latarbelakang politik maupun keagamaannya.
Sebagaimana sudah kita kemukakan, kasus RUU Pornografi adalah contoh yang sangat fenomenal untuk hal tersebut. Demikian pula dengan Perda-perda bernuansa agama. []