“Yang paling penting dari seorang suami adalah kesiapannya melindungi, menafkahi, dan mendidik istri juga anak-anaknya. Karena memang itulah tugas seorang suami.” (Ippho Santosa)
Mubadalah.id – Perempuan dan laki-laki yang ditakdirkan Allah menjadi sepasang istri-suami tidak boleh saling menegasikan peran pentingnya masing-masing. Menganggap bahwa istri hanya sekadar pelengkap suami adalah kekeliruan. Karena pada dasarnya baik istri maupun istri maupun suami, sama-sama saling membutuhkan. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada suami yang sempurna seratus persen, sebagaimana tidak ada istri yang sempurna seratus persen.
Untuk itulah relasi istri dan suami yang harus dibangun adalah relasi kemitraan. Istri adalah mitra suami. Tidak berlaku relasi atasan-bawahan, di mana suami berlaku sebagai atasan, sementara istri sebagai bawahan. Apa konkretnya dari relasi atasan-bawahan ini? Ada doktrin yang biasanya disadur yang konon ajaran ini berasal dari salah satu ajaran Nabi Saw., bahwa jika hendak berpuasa sunah pun, istri harus mendapat izin dari suami. Bagi saya ini keterlaluan.
Puasa sunah itu murni ibadah. Oleh karena itu, yang paling penting dalam menjalankan kehidupan rumah tangga adalah bagaimana caranya bisa terjalin komunikasi yang baik antara keduanya. Izin tidak mesti berbentuk perkataan verbal. Izin bisa lebih baik dimaknai secara hakikat yakni komitmen. Komitmennya paling tidak berbunyi, sepanjang aktivitas yang dilakukan istri maupun suami itu kebaikan, maka sudah sepatutnya dilaksanakan.
Sehingga dengan demikian, bukan hanya istri yang harus meminta izin kepada suami, melainkan suami juga harus meminta izin kepada istri, dalam arti masing-masing pihak saling mengerti bahwa komitmen hidup untuk saling amanah adalah ajaran Islam yang utama dalam rumah tangga.
Di sinilah saya merasa penting untuk sedikit meluruskan pendapat Ippho Santosa seperti yang saya kutip di atas. Suami memang harus siap menafkahi, melindungi dan mendidik istri berikut anak-anaknya, tetapi bukan berarti istri selalu dianggap dalam posisi tidak mampu menjadi pihak yang juga bisa menafkahi, dianggap lemah dan apalagi bodoh. Sebagaimana kita tahu, terlalu banyak perempuan yang telah bisa hidup mandiri, istri yang malah melindungi suaminya dan istri yang jauh lebih pintar lagi bijaksana ketimbang suaminya.
Itu artinya apa? Bahwa istri dan suami sebagai sama-sama mitra, sudah sepatutnya saling menafkahi, saling melindungi dan saling mendidik. Tidak lagi menggantungkan pada satu pihak saja yakni suami. Suami aktif, sementara istri pasif. Mulai sekarang pola relasinya harus diubah. Ada kalanya rumah tangga yang diuji Allah di mana suaminya tidak berdaya dalam menafkahi. Sebagai istri yang baik, tentu saja bukan malah merajuk dan menyalahkan suaminya, ia justru akan menjadi istri yang terus memotivasi suaminya agar berdaya, bahkan istrinya mampu memberi contoh bisa mandiri mencari nafkah untuk keluarga.
Istri yang bisa menafkahi tentu saja bukan dalam rangka gagah-gagahan, apalagi untuk menyaingi suaminya. Istri yang menafkahi adalah istri yang hendak mensyukuri nikmat dari Allah. Itu artinya bahwa urusan nafkah dalam rumah tangga adalah menjadi urusan bersama. Rezeki dalam bentuk uang dan apa pun itu merupakan rezeki bersama. Tidak ada istilah ini uang suami, sementara itu uang istri. Uang istri bukan uang suami, sementara yang suami itu uang istri. Kalau ada istri yang berkarir dan mendapat gaji itu sepenuhnya uang istri, tidak ada hak bagi suami. Nah persepsi semacam ini yang harus diperbaharui. Sebab banyak sekali dipahami secara mentah.
Istri dan suami sama-sama saling mendidik. Mendidik diri dan pasangannya. Sehingga tidak ada lagi kesan bahwa selamanya istri harus dididik suami, sehingga tidak berlaku istri mendidik suami. Padahal pada faktanya ada banyak suami yang mbalelo, hidup semau sendiri, sering kali marah-marah, sementara istrinya penyabar, menasihati dengan memberi teladan, bukan hanya dengan perkataan. Saling mendidik di sini akhirnya dapat dipahami sebagai upaya saling mengingatkan. Istri dan suami sama-sama berpotensi lupa dan melakukan kesalahan. Oleh karena itu keduanya tetap waspada agar bisa saling mengingatkan.
Sehingga berbagai tugas dalam kehidupan rumah tangga adalah tugas bersama. Selain prinsipnya kesalingan, juga berbagi peran. Ke depan, tidak akan ada lagi suami yang gengsi membantu istrinya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Suami harus tetap berbagi peran bersama istrinya.
Tidak ada lagi pengkotak-kotakan tugas. Dengan relasi kemitraan semacam ini, insya Allah istri dan suami akan terhindar dari sikap menuntut. Istri yang melulu menuntut nafkah kepada suami, demikian suami menuntut pengurusan rumah tangga dan anak kepada istri. Yang indah itu, segalanya dikerjakan bersama, menjadi tanggung jawab bersama. Asik kan? Wallaahu a’lam. []