Mubadalah.id – Kekerasan terhadap penyandang disabilitas hingga hari ini masih menjadi aib yang jarang dilaporkan dan diangkat ke ruang publik. Banyak dari mereka mengalami kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis, namun sulit untuk bersuara dan mengungkapkan apa yang dialami.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan. Data yang sama mengungkapkan, jenis kekerasan ykekerasan penyandang disabilitasang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.
Angka ini menegaskan satu hal: perlindungan dan ruang aman bagi kelompok disabilitas di Indonesia masih sangat lemah.
Lebih dari itu, karena mayoritas korban adalah perempuan. Maka fakta ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas perempuan, masih menghadapi tantangan besar karena kebijakan hukum yang belum inklusif.
Kondisi ini membuka ruang bagi diskriminasi dan ketidakadilan yang seharusnya bisa kita cegah dengan regulasi yang lebih berpihak dan sensitif terhadap kerentanan mereka.
Kasus Perkosaan Perempuan Disabilitas
Salah satu contoh nyata adalah kasus kekerasan terhadap perempuan berinisial N, seorang penyandang disabilitas yang menjadi korban perkosaan oleh tetangganya sendiri.
Mengutip dari laman literasihukum.bphn.go.id, korban telah mengalami kekerasan seksual selama bertahun-tahun. Kasus ini memperlihatkan betapa rentannya posisi perempuan disabilitas ketika berada di lingkungan yang tidak aman.
Peristiwa ini baru terungkap ketika N tanpa sengaja bercerita kepada kakaknya. Setelah mendengar pengakuan tersebut, sang kakak segera melapor ke pihak kepolisian untuk menuntut keadilan.
Namun, pelaku justru tidak mengakui perbuatannya dan malah mengancam korban dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Kasus N hanyalah satu dari banyak peristiwa serupa. Perempuan disabilitas sering kali kesulitan mendapatkan hak keadilan dan takut melapor karena berbagai hambatan seperti minimnya layanan hukum yang ramah disabilitas dan kurangnya pendampingan sesuai kebutuhan mereka. Hingga stigma masyarakat yang menganggap mereka “tidak berdaya”.
Semua itu menjadi tembok besar yang membatasi mereka dalam memperjuangkan haknya sebagai warga negara.
Sistem Hukum yang Belum Inklusif
Sistem hukum yang berlaku pun belum sepenuhnya inklusif. Banyak proses hukum yang belum memiliki fasilitas pendukung bagi korban disabilitas misalnya ketiadaan penerjemah bagi korban Tuli atau ruang aman bagi korban kekerasan dengan kebutuhan khusus. Padahal, akses terhadap keadilan adalah hak setiap individu tanpa terkecuali.
Kita, baik sebagai masyarakat maupun pemerintah, perlu memperbaiki sistem ini. Perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas tidak bisa berhenti pada sebatas laporan dan proses hukum formal. Yang lebih penting adalah membangun kesadaran untuk menghargai dan memahami mereka dari berbagai sisi kehidupan.
Dengan membangun sistem hukum yang lebih inklusif, setidaknya negara memberikan payung hukum yang jelas bagi para korban penyandang disabilitas agar mereka tidak lagi dipinggirkan dalam proses hukum. Karena setiap korban termasuk penyandang disabilitas, mereka berhak didengar, dilindungi, dan diperlakukan setara dan adil. []










































