Mubadalah.id – Ratusan orang berkumpul di sebuah tempat, makam Sunan Ampel, untuk melantunkan doa-doa dengan khusyu. Ada yang lirih berbisik dengan air mata terlihat melewati pipinya. Ada yang bersuara kencang penuh semangat melantunkan zikir dan shalawat. Ada yang berdoa dipimpin oleh ketua rombongannya. Ada yang memejamkan mata dengan tubuh bergerak sesuai dengan bacaan doa yang diucapkannya.
Ada juga yang bergetar hatinya karena bersyukur diberikan kesempatan untuk berkunjung ke makam seorang pemimpin yang bahkan setelah wafat pun masih diingat, didoakan, dikunjungi dan dicintai oleh banyak orang.
Tempat ini adalah makam Sunan Ampel di Surabaya. Malam Jumat 2 Desember 2021 lalu, saya berziarah ke sana. Selain ikut tahlil dan berdoa di sana, saya memperhatikan untuk mengambil pelajaran dari tempat yang saya kunjungi.
Sejak memasuki pelataran parkir, banyak mobil terparkir dari minibus sampai bis. Biasanya para pengunjung ziarah makam Sunan Ampel yang datang tidak hanya dari dalam negeri. Dari luar negri pun ada. Namun dalam kondisi pandemi covid 19 ini saya tidak yakin dari luar negri masih bisa ziarah ke sini. Yang pasti para tukang parkir akan mendapat berkah dari kendaraan yang datang.
Setiap sudut masjid Sunan Ampel penuh dengan peziarah. Para pedagang dan pemilik kios di sekitar mesjid menyediakan kebutuhan para peziarah. Mulai minuman, makanan yang beraneka ragam sampai oleh-oleh yang bisa dibeli dan dibawa pulang. Tentu saja para pedagang dan pemilik kios merupakan pihak yang mendapatkan berkah di sini.
Saya merenung ya Allah, seperti apa sosok ulama Sunan Ampel ini? Tidak hanya saat hidupnya saja ia memberikan kemanfaatan pada orang lain. Banyak orang jadi mengenal Allah karena dakwahnya. Banyak orang tercerahkan hidupnya berkat pengetahuan dan ilmu yang disampaikannya. Banyak orang yang tergerak melakukan ketaatan dan kebaikan karena akhlak mulianya. Dari hidup sampai setelah wafatnya ia bermanfaat dan menginspirasi banyak orang.
Orang seperti Sunan Ampel inilah mungkin yang memiliki karakter kebajikan utama (Cardinal Virtue) sehingga terus mampu memberi kebahagiaan dan kemaslahatan pada orang lain. Aristoteles dalam karyanya tentang etika mengemukakan empat macam kebajikan yaitu kebijaksanaan praktis (Prudence/practical wisdom), jalan tengan atau Temprance/Self Control (moderation) , Keberanian atau (Courage) dan keadilan atau Justice .
Keempat keutamaan itu akan mengantarkan manusia kepada tujuan pokok yang hendak dicapai yaitu kebahagiaan dan kesuksesan. Kebahagiaan akan dicapai apabila manusia melaksanakan etika kebaikan dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Kebijakan praktis merupakan perwujudan dari kebijakan teoritis. Terdapat enam jalan pemimpin untuk melahirkan practical wisdom. Pertama ialah mengetahui tujuan mau kemana. Kedua ialah dasarnya adalah kebenaran. Mengetahui referensi tentang prinsip kebenaran, kebaikan dan keindahan dan mengejar tiga hal ini. Ketiga adalah pemimpin harus mampu membaca situasi. Harus paham lapangannya. Harus ingat bahwa kehidupan manusia ini plural, dinamis, progresif dan berkembang. Tidak bisa misalkan keputusan lama dipakai hari ini padahal secara konteks berbeda.
Keempat seorang pemimpin harus mau dan siap belajar dari pengalaman. Ini aspek korektifnya. Jangan sampai seorang pemimpin jatuh dua kali,bahkan berkali-kali dalam masalah yang sama. Keliru dan salah itu biasa, tapi bila berkali kali jatuh pada masalah yang sama maka ia belum belajar dari pengalaman. Sehingga dia bisa belajar lebih baik lagi
Kelima, mampu bermain devil advocat dan mengambil keputusan yang sesuai. Maksudnya seorang pemimpin harus mampu menawarkan alternatif-alternatif kebaikan yang mungkin dilakukan. Bila ada masalah bisa menawarkan solusi A, B,C dan lain sebagainya pada yang dipimpinnya. Orang yang mengajukan opini/kemungkinan solusi untukvmemancing debat atau menguji kekuatan aneka argumen yang ada kemudian menemukan solusi bersama.
Keenam adalah memahami common-sense. Ini sebenarnya mirip dengan langkah ketiga yaitu mampu membaca situasi. Seorang pemimpin harus paham kebenaran yang sudah berjalan atau sudah disepakati. Pemimpin yang baik harus paham hal ini dan tidak memutuskan sesuatu dengan yang asing sama sekali. Bukan berarti harus mengikuti tapi harus memahami, meski pada akhirnya mengkritisi. []