Mubadalah.id — Isu tentang sunat perempuan atau pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) hingga kini masih menjadi perdebatan panjang di banyak masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia.
Sebagian kelompok meyakini bahwa praktik ini merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan dianggap sebagai tanda kesempurnaan iman bagi perempuan.
Sementara banyak kalangan lain menegaskan bahwa praktik tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sahih dalam Islam. Justru melanggar prinsip kemanusiaan.
Sebagaimana dijelaskan Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id, perdebatan ini muncul karena tidak ada satu pun dalil yang eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadis yang secara tegas memerintahkan sunat perempuan.
Padahal, dalam hukum Islam, dasar pijakan utama dalam menentukan sebuah hukum adalah Al-Qur’an, hadis, ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi hukum).
Maka, jika keempat sumber hukum tersebut tidak memberikan dasar yang kuat terhadap suatu praktik. Tentu sulit bagi praktik tersebut untuk diklaim sebagai bagian dari syariat Islam.
Tidak Ada Dasar dalam Al-Qur’an
Jika menelusuri al-Qur’an sebagai sumber hukum utama. Maka tidak menemukan satu ayat pun yang menyebutkan mengenai anjuran ataupun perintah untuk melakukan sunat perempuan.
Beberapa ulama seperti Serour (2017) dan Yusuf al-Qardhawi (2010) juga menegaskan bahwa praktik sunat perempuan yang ada di sebagian masyarakat Muslim bukan berasal dari ajaran Islam. Melainkan merupakan tradisi masa lalu yang telah mereka lakukan bahkan ribuan tahun sebelum Islam hadir.
Sejarah mencatat, praktik ini sudah ada sejak masa Mesir kuno atau peradaban Firaun. Serta di wilayah Timur Tengah sekitar 2.000 tahun sebelum Islam turun.
Artinya, sunat perempuan bukanlah bagian dari risalah Islam. Melainkan warisan budaya patriarkal kuno yang kemudian mereka kaitkan dengan simbol moralitas dan kesucian perempuan. []









































