Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa pameo “swarga nunut neraka katut” adalah pola pikir yang tidak boleh digunakan lagi. Pasalnya, dalam akidah Islam tidak pernah membenarkan hal tersebut.
Nyai Badriyah mencontohkan, kiasan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh yang kafir akan menjadi penghuni nereka meskipun mereka istri Nabi.
Sebaliknya Asiyah yang beriman adalah penghuni surga meski sang suami, raja Fir’aun, adalah penghuni neraka.
Surat at-Tahrim ayat 10-12 menjelaskan dengan gamblang hal itu:
ضرب الله مثلا للدْين كفروا امراْة نوح وامراْة لوط كانتا تحت عبدين من عبادنا صا لحين فخا نتا هما فلم يغنيا عنهما من الله شيئا وقيل ادخلا النار مع الداخلين * وضرب الله مثلا للدْين امنوا امراة فرعون ادْقالت رب ابن لى عندك بيتا فى الجنة ونجنى من الظا لمين
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan bagi orang yang kafir, yaitu istrinya Nuh dan Luth, keduanya berada di bawah (ikatan pernikahan) dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh-saleh, kemudian mereka (istri-istri itu) mengkhianati keduanya, maka keduanya tidak dapat membebaskan mereka sedikit pun dari (murka) Allah.
Dan masuklah kamu kedua ke dalam neraka bersama orang-orang yang memasukinya. Dan Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yaitu istri Fir’aun tatkala ia berucap: Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu rumah surga, dan selamtkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”
Pola-pola Pikir Egois Patriarkhis
Pola-pola pikir egois patriarkhis itu, menurut Nyai Badriyah, sudah barang tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam memang tak boleh lagi ada jika kita ingin mewujudkan samara yang sejati.
Memperbaharui pola pikir adalah langkah awal menuju ke sana. Dengan pola pikir islami yang tepat dan manusiawi, suami-istri akan bahagia dalam perkawinan.
Saling mengerti, saling bantu, saling menghargai, saling setia, saling mendukung langkah menuju surga. Bukankah itu perekat sejati sakinah mawaddah wa rahmah?
Di zaman manusia semakin mudah merasa galau dan kesepian dalam keramaian, samara yang terbentuk di atas relasi ketuhanan yang rahman-rahim dan kemanusiaan yang adil dan beradab sudah pasti menjadi solusi. (Rul)