Mubadalah.id – Para tokoh agama yang menyebarkan Islam di Cirebon tidak hanya para Kiai dan ulama laki-laki, tetapi banyak juga para perempuan ulama yang mendukung kesuksesan dakwah. Salah satunya Syarifah Moedaim atau Nyimas Rara Santang, ibu dari Sunan Gunung Jati, beliau melahirkan dua anak yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syarif Nurullah.
Syarifah Moedaim sendiri adalah putri kedua dari prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang yang lahir pada tahun 1427 Masehi. Pada saat kelahirannya terjadi badai dan petir yang terus menyambar. Sang ayah bertuah jika lahir seorang bayi perempuan, maka ia akan menjadi ibu para raja.
Syarifah Moeda’im memeluk agama Islam sejak lahir mengikuti agama ibunya. Meskipun pada waktu itu ayah dan saudara tirinya (Sura Wisesa) masih memeluk agama Budha. Masa kecil Syarifah Moedaim ia habiskan di Istana Galuh Kawali, setelah sang ayah diangkat menjadi raja di kerajaan Pajajaran akhirnya pindah ke istana baru. Yaitu istana sang Bhima Narayan yang berada di tanah Pasundan.
Saat ibunya meninggal, Syarifah Moedaim dan kakaknya, Walangsungsang melaksanakan wasiat ibunya untuk menimba ilmu agama. Mereka berguru pada seorang ulama besar yaitu Syekh Dzatul Kahfi di Gunung Jati. dua kakak beradik ini menuntut ilmu di pesantren Syekh Dzatul Kahfi bersama isteri dari Walangsungsang yang bernama Nyi Endang Ayu. Hingga tiba saatnya sang guru memerintahkan mereka untuk menyempurnakan rukun Islam dengan melaksanakan ibadah haji.
Perempuan Ulama Pergi Haji
Sekitar tahun 1443 keduanya pun menuruti apa yang gurunya perintahkan. Akan tetapi tanpa Nyi Endang Ayu karena sedang mengandung. Keduanya pergi berhaji dengan menumpang perahu. Syekh Nurjati menyarankan agar keduanya menemui Syekh Ibrahim di Campa terlebih dahulu. Di Campa, keduanya mendapat wejangan dari Syekh Ibrahim dan diutus untuk menyampaikan dua pucuk surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah.
Mereka sampai di Mekah malam Jum’at, 25 Rajab. Dalam buku Babad Cerbon terbitan Brandes yang Dadan nukil dari Wildan. Ada keterangan bahwa Qodi Jamaluddin diutus Raja Bani Israil yang bernama Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam bin Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Atau lebih terkenal Sultan Hud agar mencarikannya istri.
Kemudian beliau melihat perempuan yang mirip dengan istri Raja Bani Israil yang telah wafat. Perempuan tersebut berasal dari Pajajaran yang pergi haji bersama saudara laki-lakinya dan saat itu mereka sedang tinggal di Baitul Muqoddas.
Mendengar berita tersebut Sang Raja segera mengutus seorang Qodi untuk mengundangnya ke Istana. Dengan rasa yang tidak menentu perempuan yang bernama Rara Santang tersebut mengabulkan undangan Raja untuk dipinang.
Menerima Pinangan Sultan Hud
Dengan kecerdasannya, Syarifah Moedaim akhirnya bersedia menerima pinangan Sultan Hud namun dengan satu syarat yang harus terpenuhi dan harus terucapkan di bukit Tursina. Syarat tersebut adalah “jika kelak anak pertama yang terlahir laki-laki maka harus ia relakan untuk menyiarkan agama di pulau Jawa khususnya Pasundan.”
Sang Sultan menyanggupi persyaratan dari Rara Santang, keduanyapun menikah. Pernikahan tersebut terlaksana di kerajaan Bani Israil, dengan kesaksian oleh Syekh Bayan, Syekh Abdullah Iman, ulama-ulama, dan para pembesar kerajaan.
Dari pernikahannya melahirkan 2 anak laki-laki. Yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sunan Gunung Jati lahir pada 1448 Masehi, satu tahun kemudian pada tahun 1449 Masehi lahirlah Syarif Nurullah. Tidak lama setelah kelahiran putra keduanya, suaminya meninggal dunia. Mereka berdua yatim sejak kecil.
Keduanya menjadi raja, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kembali ke tanah Jawa dan menjadi raja di kerajaan Cirebon (Caruban Nagari) di Keraton Pakungwati juga termasuk dalam walisongo yang menyebarkan agama Islam di Jawa yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sebelumnya, Syarif Hidayatullah belajar kepada Syekh Tajuddin Al Kubri selama 2 tahun, kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili pengikut Imam Syafi’i 2 tahun, kemudian pergi ke Bagdad untuk belajar tasawuf.
Sedangkan adiknya, Syarif Nurullah mewarisi kekuasaan ayahnya Syarif Hud sebagai penguasa di Mesir atau ota Ismailiyah. Syarif Nurullah tidak langsung menjadi raja. Karena semasa kecil, kedudukan sultan terpegang oleh pamannya yaitu Patih Ongka. Ketika sudah layak memimpin dan sudah tumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa seperti ayahnya, baru kemudian ada penobatan Syarif Hud sebagai raja.
Syarif Nurullah juga memiliki kecerdasan yang luar biasa menuruni kecerdasan yang sang ayah dan ibunya miliki. Kebijaksanaan dan kearifan Syarif Nurullah juga sama persis dengan watak dan sifat sang ayah. Kebesaran jasanya adalah dengan mendidik anak-anaknya agar menjalankan dan mensyiarkan ajaran Islam.
Nasihat Kepada Sunan Gunung Djati
Di antara nasihat-nasihatnya yang termaktub dalam sebuah narasi adalah nasihatnya kepada Syarif Hidayatullah yang hendak pergi menimba ilmu dengan menemui Nabi Muhammad melalui khalwatnya di Mekkah hingga puluhan tahun.
’’Engkau kuizinkan pergi anakku, akan tetapi berhati-hatilah. Aku bekali engkau uang seribu dinar dan tasbih peninggalan ayahmu, untuk penolak bala. Juga bawalah serta para pengawal’’
Sang anak pun menjawab: ’’Baiklah ibu, akan tetapi mengenai pengawal seorang pun tidak akan kubawa, akan tetapi pemberian uang seribu dinar itu akan kubawa, barangkali menemui halangan atau kekurangan. Ananda mohon nasihat untuk menghadapi hidup yang akan kujalani ini’’
Sang ibu berkata dengan lembut: ’’He anak isun gusti, sira aja malas kacung ya ingkang ngebattebat. Kacung aluku kang bedami, lawan aja turu yen ora arip, lawan sira aja mangan yen ora katekan ngelih, lawan aja nginum sira yen ora katekan garing. Iku kang telu perkawis, ya lakunana kacung lawan aja sumakeyan ingkang iku ora becik. Ingkang becik ana diri ing manusa. Datan bathi wong takabur, yaiku temahe dhoip. Balik pasraha ing Allah, tur kuat temahe dadi. Sira nyawa kang sun puji, anemua giri sarku tasik legi’’
(Anakku terkasih, dalam hidup ini janganlah kamu berlebihan. Anakku, utamakanlah berdamai. Janganlah tidur kalau tidak mengantuk, dan janganlah makan kalau tidak lapar, dan janganlah minum kalau tidak haus, itulah tiga perkara yang harus kau ingat. Janganlah angkuh, karena hal itu tidak baik, dan berbuatlah selalu kebaikan kepada sesama manusia. Tak ada untungnya engkau takabur, karena itu mengakibatkan kelemahan. Serahkanlah kepada Allah sehingga kesudahannya engkau akan menjadi kuat. Engkau kekasih yang ku puja, carilah gunung kebahagiaan dan danau kenikmatan).
Kembali ke Tanah Cirebon
Selesai menerima nasihat, Sarif Hidayatullah lalu bersimpuh di pangkuan ibundanya. Di hari tua Syarifah Moeda’im kembali ke tanah kelahirannya di Cirebon setelah dijemput sang anak. Ia menghabiskan masa hayatnya dengan menjadi perempuan ulama, dan setelah meninggal dikebumikan di pemakaman Gunung Sembung, di dalam gedung paling atas.
Posisi makam perempuan ulama Syarifah Moedaim tersebut terletak pada urutan keempat, dari arah sebelah Barat ke Timur. (Urutan pertama Nyai Gedeng Tepasan, kedua, Susuhunan Jati, ketiga, Ratu Bagus Pase/Padhillah, keempat, Saripah Mudaim, kelima, Nyai Gedeng Sembung/Nyai Ageng Sampang/Nyai Gede Kancingan/ isteri Susuhunan Jati yang tidak berputra).
Lihatlah, Jasa Rara Santang alias Syarifah Moedaim sebagai perempuan ulama yang sangat besar perannya dalam mendidik, mengarahkan, dan mendukung para putranya. Terutama untuk mempelajari dan mensyiarkan agama Islam. Peran perempuan ulama tersebut bahkan sudah ia lakukan sejak sebelum menerima pinangan calon suaminya agar putranya ketika sudah dewasa kelak bisa pulang ke tanah Jawa untuk mensyiarkan ajaran agama Islam.
Apa yang dipinta Syarifah Moeda’im tidak hanya kebaikan untuk memenangkan diri semata. Namun untuk umat Islam di tanah kelahirannya. Rara Santang sangat teliti dan tekun mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai perempuan ulama kepada putra-putranya.
Ia buktikan dengan banyak mutiara nasihat yang berharga bagi anak cucunya kelak, yang kemudian sang Sunan ajarkan pada murid-muridnya hingga sampai kepada kita untuk dijadikan pepiling hidup di dunia. Wallahua’lam. []