Mubadalah.id – Di antara hal tersulit yang laki-laki bisa komunikasikan secara mendalam dan terbuka dengan pasangan adalah komunikasi uang. Hal ini terjadi karena fulus menyentuh terlalu banyak sisi kehidupan. Kuasa, kepercayaan, batas personal (boundary), kebebasan dan keputusan, tanggung jawab, harga diri, dan tujuan hidup. Banyak laki-laki, yang masuk dalam pernikahan, tak siap hal terdalam dalam dirinya disentuh, apalagi diintervensi.
Sebuah survei oleh Harris Poll di AS pada 2016 menemukan bahwa 42% orang dewasa AS yang memiliki komitmen dalam hubungan asmara mengaku melakukan kebohongan finansial. Meskipun 2.057 responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, data ini cukup membantu untuk memahami isu ini.
Bagi laki-laki, dalam beberapa kasus, komunikasi uang dan finansial bahkan lebih sulit untuk dikomunikasikan dengan lega, melebihi keterbukaan tentang fantasi seks dan kerentanan (sesuatu yang terkait maskulinitas). Literasi finansial dalam pernikahan ini kadang dibalut kebohongan atau ketertutupan.
Ketika Istri tak Tahu Berapa Penghasilan Suami
Perhatian saya ini terutama sebagai respon terhadap keluhan sejumlah perempuan dalam kelas sekolah keluarga—dalam kapasitas saya sebagai fasilitator di program tersebut. Para perempuan ini mengaku tak tahu berapa tepatnya pendapatan suami dan ke mana saja uang itu ia alirkan.
Pada akhirnya, mereka juga tak lagi menanyakan karena sebelumnya mendapati suami mereka tak senang jika ada obrolan tentang hal tersebut. “Udah, yang penting uang belanja cukup.” Kata mereka mengutip para suami terkasih. Sebagian suami mengalihkannya ke Tuhan, “Gak usah kuatir, Allah sudah menjamin rejeki masing-masing orang.”
Singkat cerita, para istri dan ibu-ibu tersebut merasa tak puas dengan komunikasi uang dari suami. Sebagian yang lain menaruh curiga tapi sekaligus tak berdaya. Kecurigaan mereka cukup pantas karena setiap tukang selingkuh mesti tak komunikatif soal uang. Meskipun tak boleh kita ambil simpulan bahwa yang tak transparan berarti siap-siap untuk selingkuh.
Alasan Enggan Terbuka Soal Keuangan
Ada banyak alasan laki-laki tak terus terang soal arus keuangan dengan pasangan: dia belum selesai urusan dengan keluarga asal, ingin leluasa menggunakan uang untuk kesenangan pribadi (hobi, gaya hidup, pertemanan dll), memiliki keyakinan (berbasis budaya atau agama) bahwa suami punya kendali penuh atas uang dan istri tak perlu ikut campur. Lalu, mempunyai pengalaman yang buruk tentang keuangan di masa lalu, atau memang dia sekadar tak punya visi tentang keuangan.
Ahli keuangan AS Dave Ramsey mengatakan, “lalu lintas keuangan di keluarga merepresentasikan sistem nilai yang menjadi dasar bagaimana rumah tangga dikelola.” Maksudnya, sistem nilai yang terpegang oleh seseorang bisa kita baca dari caranya mengomunikasikan uang. Saya sendiri percaya bahwa gangguan komunikasi keuangan dalam keluarga adalah gejala adanya gangguan kemesraan (emosional, intelektual, seksual, maupun keintiman yang berbasis pengalaman bersama) sekaligus kepercayaan.
Oleh sebab itu, literasi keuangan dalam rumah tangga selaiknya sudah tuntas kita bicarakan sebelum atau di awal-awal pernikahan. Literasi jenis ini cukup serius karena ekonomi menjadi penyebab tiga besar perceraian di Indonesia dan masing-masing keluarga memiliki cara sendiri mengomunikasikan keuangan; perbedaan cara di sini bagi pasangan baru bukan sesuatu yang mudah untuk dikompromikan.
Saya ingat seorang mahasiswa dengan lantang menyela, “Kalau belum nikah sudah menanyakan gaji, langsung saya putusin, Pak. Cewek matre itu!” Dia mengatakannya saat ada teman sekelasnya yang bertanya ke saya apakah sopan menanyakan penghasilan ke calon pasangan. Komunikasi keuangan dalam pernikahan tentu saja tidak hanya tentang mengetahui besaran penghasilan, tetapi semua persoalan keuangan yang memiliki peluang memengaruhi kondisi keluarga secara umum.
Pentingnya Komunikasi Uang dengan Pasangan
Bertanya tentang keuangan kepada calon/pasangan bukan soal materialistis atau bukan, tetapi terkait visi keamanan finansial keluarga. Jadi, jangankan menanyakan besaran gaji, menanyakan berapa jengkal ukuran alat tempur suami pun boleh.
Bahkan, kalau di kelas pernikahan, saya menganjurkan mereka yang akan menikah untuk terbuka tentang semua hal yang kira-kira bakal memengaruhi kualitas pernikahan nantinya. Dalam agama Abrahamik, pernikahan disebut ketubah, akad, atau kesepakatan. Jika kontrak kerja saja demikian detil, mengapa nikah yang melibatkan semua sisi kemanusiaan dan kita andaikan seumur hidup kita lakukan dengan permufakatan bersama item-item yang kabur?
Masing-masing orang memang mengelola keuangan di keluarga dengan cara yang unik, dan tak perlu kita sama-samakan. Akan tetapi, ada beberapa prinsip umum yang harus kita pegang, yaitu: jujur, terbuka satu sama lain, dan adil. Jadi, para suami yang menghendaki keintiman dalam pernikahan tak seharusnya merasa tabu untuk membicarakan uang secara terbuka. Jika masih bingung, ada banyak tempat untuk bertanya. []