Mubadalah.id – Masih banyak umat Islam Indonesia yang bingung soal kapan jatuhnya talak atau cerai. Sumber kebingunan itu adalah karena secara normatif, fikih yang berkembang di Indonesia menganggap talak sebagai hak prerogratif suami yang kapan saja dan dimana saja diucapkan sudah dianggap jatuh. Sementara hukum positif yang berlaku di Indonesia, talak atau cerai baru dianggap jatuh jika diucapkan di hadapan hakim di Pengadilan. Ini tertera dalam UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991. Jadi talak di pengadilan agama itu sesuai fikih.
Menurut Nyai Hajjah Badriyah Fayyumi, pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi, dalam fiqh Islam memang ada dua kecenderungan pendapat. Pertama yang menyatakan talak menjadi hak penuh suami tanpa campur tangan siapapun. Kedua yang memandang bahwa talak baru bisa jatuh jika disaksikan oleh dua orang saksi dewasa yang adil. Demikian diucapkan lulusan Universitas al-Azhar Cairo Mesir.
Pandangan pertama adalah pendapat mayoritas ulama fiqh, termasuk Mazhab Syafi’i yang dianut sebagian besar umat Islam Indonesia. Sementara yang kedua dipegang Mazhab Hanbali dan Syi’ah. Beberapa Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib ra dan Imran bin Hushain ra, serta ulama tabi’in seperti Atha bin Juraij, Ibn Sirin, Muhammad al-Baqir, dan Ja’far al-Sadiq juga berpandangan serupa. Pandangan yang kedua ini didasarkan pada ayat ke-2 Surat ath-Thalaq yang menegaskan bahwa talak itu harus dipersaksikan.
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُم (الطلاق، 65: 2).
“Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka juga dengan baik-baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil” (QS. Ath-Thalaq, 65: 2).
Atas dasar ayat ath-Thalaq ini yang meminta persaksian dalam perceraian dan dasar kemaslahatan keluarga agar setiap orang tidak mudah menceraikan istri, ijtihad ulama Indonesia yang tertera dalam KHI menyatakan bahwa talak/cerai harus dibawa ke hadapan pengadilan. Ini tujuannya agar talak tidak terjadi semena-mena dan hak-hak pasangan, terutama anak dan istri bisa dilindungi melalui keputusan pengadilan tersebut.
Jika pemerintah sudah mengambil keputusan, seharusnya ia menjadi pegangan bagi masyarakat muslim Indonesia. Dalam fiqh, hukm al-haakimi yarfa’u al-khilaf, bahwa keputusan pemerintah menghentikan segala perbedaan pendapat. Jadi, talak di Pengadilan itu sudah sesuai dengan fiqh Islam yang ada. Ini yang semestinya dijadikan pegagan agar setiap individu tidak mudah mengucapkan cerai dan memastikan agar perceraian tidak mendatangkan kemudaratan bagi seluruh anggota keluarga. Dengan melibatkan pengadilan, setidaknya bisa meminimiaasi kemudaratan yang diakibatkan perceraian.
Sumber: Ulama Menjawab (Rahima, 2008)
Penulis: Faqih Abdul Kodir