Mubadalah.id – Kekerasan seksual merupakan masalah serius yang masih terus terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Kasus-kasus ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi para penyintas.
Oleh sebab itu, upaya pencegahan maupun penanganannya tidak dapat kita bebankan hanya kepada individu korban atau keluarga semata. Kita membutuhkan kesadaran dan keterlibatan semua pihak, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. Inilah yang disebut sebagai tanggung jawab kolektif dalam melawan kekerasan seksual.
Urgensi Penanganan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bukan sekadar tindakan melanggar hukum, tetapi juga bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam banyak kasus, korban mengalami kerugian berlapis: fisik, mental, sosial, bahkan ekonomi. Trauma psikologis yang ditimbulkan sering kali membekas bertahun-tahun, memengaruhi rasa percaya diri, hubungan sosial, dan masa depan korban.
Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual masih tergolong tinggi, baik di ruang domestik, publik, maupun digital. Ironisnya, tidak sedikit korban yang memilih diam karena takut disalahkan, tidak percaya pada mekanisme hukum, atau khawatir akan stigma sosial.
Fenomena victim blaming (menyalahkan korban) masih sering terjadi, misalnya dengan komentar “pakaiannya mengundang” atau “kenapa tidak melawan”. Sikap seperti ini justru semakin memperburuk keadaan dan menghalangi keberanian korban untuk melapor.
Dari sini terlihat jelas bahwa penanganan kekerasan seksual membutuhkan perhatian serius. Menyikapi persoalan ini sebagai tanggung jawab bersama menjadi penting agar korban mendapat perlindungan, pelaku mendapat hukuman yang setimpal, dan masyarakat secara keseluruhan terdidik untuk menghentikan lingkaran kekerasan.
Peran Kolektif Masyarakat dan Lembaga
Melawan kekerasan seksual tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Kita perlukan kerja sama lintas sektor dengan peran yang berbeda namun saling melengkapi. Individu, misalnya, berperan dalam meningkatkan kesadaran diri dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Edukasi mengenai batasan tubuh, persetujuan (consent), serta pentingnya menghormati orang lain harus kita mulai sejak dini.
Keluarga juga memiliki fungsi sentral sebagai benteng pertama dalam pencegahan. Orang tua berkewajiban memberikan pendidikan seksualitas yang sehat kepada anak, mengajarkan tentang menjaga diri, serta menanamkan sikap menghargai lawan jenis. Keluarga perlu menjadi ruang aman bagi anak untuk bercerita tanpa rasa takut.
Masyarakat pada gilirannya harus menciptakan lingkungan yang peduli dan tidak permisif terhadap kekerasan seksual. Jika melihat tanda-tanda pelecehan atau kekerasan, masyarakat tidak boleh menutup mata. Aksi kolektif dapat berupa membangun komunitas peduli, membentuk sistem pelaporan cepat, atau mendukung penyintas secara moral maupun materiil.
Di sisi lain, lembaga pendidikan dan keagamaan tidak boleh tinggal diam. Sekolah dan kampus dapat menyusun kurikulum serta membuat mekanisme pengaduan yang jelas, sedangkan tokoh agama bisa mengajarkan nilai moral dan etika tentang penghormatan antar manusia.
Tak kalah penting, pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin perlindungan hukum dan menegakkan aturan. Kehadiran undang-undang seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi langkah maju, tetapi implementasinya tetap membutuhkan komitmen serius agar korban tidak dipersulit. Aparat penegak hukum harus bekerja dengan perspektif korban, tidak diskriminatif, dan memberikan kepastian hukum yang adil.
Membangun Budaya Aman dan Berperspektif Korban
Selain penegakan hukum, langkah penting lainnya adalah membangun budaya masyarakat yang aman, inklusif, dan berperspektif korban. Budaya aman berarti menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa terlindungi dari risiko pelecehan atau kekerasan. Hal ini dapat kita wujudkan dengan aturan ketat di ruang publik, pengawasan di lingkungan pendidikan, serta kampanye yang menekankan pentingnya rasa saling menghormati.
Perspektif korban berarti menempatkan penyintas sebagai pihak utama yang harus terlindungi, didengar, dan kita berdayakan. Alih-alih mempertanyakan “kenapa korban ada di tempat itu” atau “kenapa korban tidak melawan”, masyarakat perlu fokus pada pemulihan korban dan menuntut pertanggungjawaban pelaku. Dengan begitu, beban psikologis korban dapat dikurangi, dan keberanian untuk melapor semakin besar.
Membangun budaya aman juga membutuhkan edukasi yang konsisten. Media massa, misalnya, dapat berperan penting dalam mengangkat isu kekerasan seksual dengan cara yang etis, tidak menyalahkan korban, dan memberi ruang bagi suara penyintas. Selain itu, kampanye publik, diskusi komunitas, maupun penggunaan media sosial bisa menjadi sarana efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas.
Pendidikan Seksualitas
Lebih jauh, budaya aman harus mengakar sejak usia dini. Anak-anak perlu kita bekali dengan pemahaman tentang hak atas tubuh, pentingnya persetujuan, dan bagaimana cara mencari pertolongan. Pendidikan seksualitas yang sehat bukanlah sesuatu yang tabu, melainkan kunci dalam membentuk generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab.
Kekerasan seksual adalah persoalan serius yang hanya bisa kita tekan jika ada kesadaran kolektif. Memahami urgensinya, membangun peran lintas sektor, serta menciptakan budaya aman berperspektif korban adalah langkah-langkah yang tidak bisa kita tunda. Setiap individu, keluarga, masyarakat, lembaga, hingga pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya.
Dengan kerja sama dan komitmen bersama, harapannya tidak hanya jumlah kasus kekerasan seksual yang berkurang, tetapi juga tercipta lingkungan yang lebih manusiawi, aman, dan berkeadilan bagi semua orang. []