• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Teladan Kisah Keluarga Nabi Ibrahim: Pentingnya Bersikap Demokratis Terhadap Anak

Dalam keluarga seringkali kita menemukan sikap otoriter yang orang tua lakukan terhadap anaknya. Orang tua yang bersikap demikian, biasanya cenderung memaksakan kehendak kepada anakya

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
29/12/2022
in Keluarga
0
Kisah Keluarga Nabi Ibrahim

Kisah Keluarga Nabi Ibrahim

375
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Nabi Ibrahim As merupakan salah satu nabi dan rasul yang kisahnya paling banyak Al-Qur’an ceritakan. Selain sebagai kategori rasul Ulul Azmi dan penyadang gelar al-Khalili, Nabi Ibrahim juga terkenal sebagai rasul yang dekat dengan keluarganya. Pasalnya dalam Al-Qur’an banyak bercerita tentang kisah keluarga Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut Nabi Ibrahim mengambil berbagai peran yang berhubungan dengan keluarga. Ia berperan sebagai anak, ayah dan juga suami.

Sekilas Tentang Nabi Ibrahim dan Keluarganya

Peran Ibrahim sebagai ayah tertulis dalam QS. Maryam ayat 42-48. Dalam ayat tersebut menceritakan bahwa ayah dari Nabi Ibrahim adalah seorang pembuat berhala. Ia bekerja dengan memahat batu-batu menjadi berhala yang akan ia gunakan sebagai bahan sesembahan kaumnya.

Sebagai seorang rasul yang menerima mandat dakwah, Ibrahim tidak segan berdakwah kepada ayahnya sendiri. Tentu saja dakwah tersebut ia lakukan dengan lembut dan tetap menghormati ayahnya. Namun sayangnya Sang ayah menolak ajakan dakwah tersebut dan justru mengancam Nabi Ibrahim.

Sedangkan peran Nabi Ibrahim sebagai ayah sekaligus suami tertuang dalam QS. Ibrahim ayat ayat 37. Saat itu nabi Ibrahim mendapat perintah oleh Allah agar meninggalkan Istri dan anaknya yang masih bayi di sebuah tempat yang telah ditentukan.

Namun sayangnya tempat tersebut sangatlah  gersang dan sulit untuk mendapatkan makanan. Dengan berat hati dan keyakinan yang teguh pada janji Allah, Ibrahim pun meninggalkan keluarganya di sana. Namun dengan seizin Allah tempat itu menjadi kawasan yang subur dan anaknya pun tumbuh dengan baik. Ia diberi nama Ismail.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Kisah Ibunda Hajar dan Sarah dalam Dialog Feminis Antar Agama

Ujian belum berhenti sampai di situ. Ketika anaknya mulai beranjak dewasa, Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi bahwa ia harus menyembelih putranya. Mimpi itu datang sampai beberapa kali, sehingga membuat Nabi Ibrahim yakin dan membenarkan mimpi tersebut berasal dari Allah. Akhirnya Nabi Ibrahim pun menyampaikan mimpinya itu kepada putranya. Alih-alih menolak, Ismail justru meyakinkan ayahnya agar ia melaksanakan perintah Allah. Untuk menyembelihnya

Sejarah Kurban dan Kisah Penyembelihan Ismail

Kisah ini menjadi salah satu sejarah nabi yang cukup popular bahkan di kalangan orang awam sekalipun. Cerita tersebut sangat terkenal karena menjadi asal mula syariat perintah kurban, yang kita rayakan sebagai hari raya Idul Adha. Sejarah penyembelihan Ismail tertulis dalam Al-Qur’an pada surat As-Shaffat ayat 101-105.

Ayat tersebut menceritakan bahwa nabi Ibrahim dikaruniai seorang putra bernama Ismail. Kelahiran Ismail merupakan sebuah berita gembira. Karena sudah lama sejak pernikahanya Nabi Ibrahim belum dikarunia seorang anak. Hingga ketika Ismail telah lahir, Nabi Ibrahim diuji kesabaranya oleh Allah untuk menempatkan anak dan istrinya di sebuah lembah yang gersang. (sekarang tempat itu kita kenal dengan Kota Mekah yang memiliki sumur zam-zam).

Ujian untuk nabi Ibrahim tak berhenti sampai di situ. Ketika Ismail berhasil tumbuh dengan baik dan menginjak usia dewasa, Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi bahwa ia harus menyembelih putranya. Mimpi tersebut datang sampai beberapa kali, hingga membuat Nabi Ibrahim membenarkan dan meyakini bahwa itu berasal dari Allah.

Sebelum melaksanakan penyembelihan tersebut nabi Ibrahim terlebih dulu menceritakan perihal mimpinya itu kepada putranya dan meminta tanggapan. Adapun dialog mereka diabadikan oleh Al-Qur’an dalam QS. As-Shaffat ayat 102 sebagai berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

 Artinya: Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Kesabaran Sang Nabi dan Balasan Allah

Ternyata kesabaran yang dimiliki nabi Ibrahim juga menurun pada putranya. Dengan jawaban yang sangat bijaksana ia menjawab pertanyaan dari ayahnya dan menerima perintah penyembelihan itu. Kesabaran Ismail bahkan dinarasikan dengan jelas pada ayat tersebut. Akhirnya Allah pun tidak menyia-nyiakan kesabaran mereka berdua.

Ketika keduanya telah berserah diri dan hendak melaksanakan penyembelihan, tiba-tiba ada suara gaib yang memanggil Nabi Ibrahim. Suara itu, mengatakan bahwa nabi Ibrahim telah membenarkan mimpinya dan termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.

Setelah itu Allah menebus nabi Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar. Akhirnya perintah penyembelihan itu tetap ia lakukan. Namun  bukan lagi kepada Ismail, melainkan kepada hewan sembelihan tersebut. Peristiwa itu kemudian terabadikan dalam syariat sebagai bentuk pujian kepada Nabi Ibrahim dan Ismail yang telah berhasil melalui ujian  berat.

Keteladanan yang dapat dicontoh

Hal pertama yang dapat kita contoh dari kisah di atas, tentu saja adalah kesabaran yang Nabi Ibrahim dan Ismail miliki. Keduanya termasuk orang-orang yang sabar dalam menjalankan perintah Allah. Kita dapat melihat bagaimana kecintaan mereka pada keluarganya tidak menghalangi ketaatannya kepada Allah. Seberat apapun ujian yang Allah berikan, termasuk untuk mengorbankan keluarga sendiri, tidaklah menggoyahkan ketaatan mereka.

Semua perintah Allah ia laksanakan dengan ikhlas dan penuh keyakinan kepada-Nya. Hingga akhirnya Allah menampakan kebesaran-Nya  dengan membalas kesabaran mereka. Nama dan kisah mereka terabadikan dalam sejarah dan Al-Quran. Seluruh umat Islam bahkan merayakanya setiap tahun dengan melaksanakan ibadah kurban.

Hal lain yang tak kalah penting untuk kita teladani adalah sikap demokratis Nabi Ibrahim kepada anaknya. Demokratis berasal dari istilah demokrasi yang merupakan sebuah bentuk pemerintahan di mana semua warga negara memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan.

Dalam sistem demokrasi mempertimbangkan pendapat rakyat  dalam pengambilan keputusan sangatlah penting. Karena pada akhirnya keputusan yang pemerintah ambil, akan mempengaruhi kehidupan rakyat. Pola yang sama juga terjadi dalam keluarga. Di mana keputusan dari kepala keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan seluruh anggota keluarganya.

Sebagaimana teladan Nabi Ibrahim sebagai kepala keluarga, yang telah menunjukan sikap demokratis. Ia tidak membuat keputusan sendiri dan memaksakan kepada Ismail. Melainkan memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih apa yang dia inginkan. Hal ini Nabi Ibrahim lakukan karena keputusan penyembelihan yang ia ambil akan berdampak langsung bagi kehidupan Ismail, sehingga ia memberi kebebasan Ismail untuk menentukan pilihanya.

Pentingnya bersikap demokratis kepada anak

Dalam keluarga seringkali kita menemukan sikap otoriter orang tua terhadap anaknya. Orang tua yang bersikap demikian, biasanya cenderung memaksakan kehendak kepada anaknya. Misalnya orang tua yang selalu memilihkan sekolah untuk anak atau mengharuskan anaknya mengambil program studi tertentu. Dalam hal ini orang tua telah bersifat otoriter karena mengharuskan anak mengikuti kehendaknya serta tidak memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih.

Sayangnya, hal yang demikian biasa terjadi dan dianggap lumrah oleh sebagian orang. Mereka berdalih bahwa orang tua lebih berpengalaman sehingga lebih tahu mana yang terbaik untuk anaknya. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar. Karena biasanya orang tua menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kehidupan anaknya. Tanpa dia sadari, sebenarnya banyak keadaan yang berbeda dari kehidupan mereka.

Misalnya terkait perkembangan zaman dan teknologi. Era pada saat orang tua beranjak dewasa dengan era pada saat anak tumbuh sekarang  tentu sudah sangat berbeda. Sehingga memaksa anak mengikuti kemauan orang tua tidak akan menjamin masa depan mereka.

Selain itu, bersikap otoriter kepada anak  juga sangat berpotensi membuat anak tertekan dan akan berdampak buruk pada psikologi mereka. Hal ini karena anak harus menjalani kehidupan yang tidak mereka inginkan. Mereka harus melakukan sesuatu yang mungkin tidak mereka sukai, tapi dituntut  memperoleh hasil terbaik seperti harapan orang tua. Semua itu seringkali berakhir dengan kasus depresi pada anak, atau bahkan tindakan ekstrim dari anak sebagai bentuk perlawanan.

Oleh karena itu, sangat penting bersikap demokratif kepada anak. Berikanlah kebebasan bagi anak untuk menentukan pilihanya sendiri, selagi itu tidak melanggar syariat dan norma. Tugas orang tua sebagai manusia yang lebih berpengalaman bukanlah mendikte kehidupan anak. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memberi informasi tentang pengalaman hidup yang pernah mereka jalani. Selanjutnya biarkan anak yang memilih dan bertangungjawab atas hidupnya sendiri.

Ajarkan Anak Pro Aktif dalam Kehidupan

Sementara jika melihat dari sisi pendidikan, bersikap demokratis kepada anak juga sangat penting. Hal tersebut berguna untuk mengajarkan anak agar bisa pro aktif dalam kehidupannya kelak. Sikap demokratis mengajarkan anak untuk mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka buat.

Sikap demokratis juga akan sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial anak. Dengan bersikap demokratis anak akan belajar menghargai pendapat orang lain, sehingga ia akan menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mudah bersosialisasi. []

 

 

Tags: islamKeluarga NabiNabi IbrahimNabi IsmailParenting Islamisejarah
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID