Mubadalah.id – Ipar adalah maut tengah menjadi perbincangan masyarakat belakangan ini, sebab film bertema perselingkuhan itu tengah naik daun. Menariknya judul dari film tersebut bukanlah sembarang judul, sebab redaksi judul “Ipar adalah Maut” ternyata diambil dari salah satu hadis Rasulullah saw, sebagai berikut:
“عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ “. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ : ” الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.’ Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?’ Beliau menjawab, ‘Ipar adalah maut’.” (HR. Bukhari Muslim).
Imam an-Nawawi mengomentari bahwa maksud الْحَمْوَ dalam hadis ini adalah ipar lawan jenis. Yaitu kerabat suami seperti saudaranya, mertua, pamannya, atau keponakannya di mana tradisi masyarakat menganggap remeh urusan ini sehingga seorang istri atau suami menganggap biasa saja berduaan dengan iparnya. (Syarah Shahih Muslim 16/153)
Sementara, Imam Muslim sendiri dalam riwayat yang lain, memperjelas dengan hadis berikutnya, bahwa kata ‘الْحَمْوَ’ merujuk pada makna saudara pasangan, baik ipar atau sepupu, dan semisalnya. Begitupun apabila kita merujuk pada kamus bahasa Arab modern, maka maknanya adalah kerabat suami atau istri. (Shahih Muslim 7/201)
Imam Qadhi Iyadh menerangkan bahwa berduaan dengan ipar berpotensi akan menimbulkan fitnah dan malapetaka dalam agama. Maka Rasul menyerupakan malapetaka yang disebutkan olehnya seperti malapetaka maut. Muhammad Amin Al-Harari dalam Syarahnya terhadap Kitab Sahih Muslim menjelaskan bahwa maksud mati dalam hadis tersebut adalah matinya agama bisa berupa perceraian atau perzinahan.
Mengapa Nabi saw Menyebut Ipar Sama dengan Maut?
Ada beragam pendapat dari para ulama mengapa Rasulullah menyebut ipar sebagai kematian. Imam an-Nawawi dalam Kitab Fath al-Bari 16/155, menjelaskan mengapa Rasulullah menyerupakan ipar dengan maut?
Karena ia seharusnya lebih kita waspadai dari orang lain, bahwa terkadang fitnah godaan dan bahayanya lebih besar dari orang asing, sebagai saudara dari pasangan (keluarga sendiri) akan mudah sering berkumpul dan leluasa masuk rumah tanpa ada yang menyalahkan. Berbeda dengan orang lain yang jelas bukan bagian dari keluarga.
Boleh jadi jika seorang suami atau istri tidak begitu waspada terhadap iparnya yang lawan jenis, sehingga malah dapat menyebabkan hal-hal yang dapat merusak hubungan rumah tangga seperti perselingkuhan, perzinaan, dan cemburu buta berpotensi terjadi apabila tidak kita cegah. Karena itu Nabi saw mengingatkan bahwa ipar adalah maut. Sebagaimana budaya orang Arab, sering menyifati dan melabeli sesuatu yang tidak baik dengan kata ‘maut’.
Adapun menurut Imam al-Munawi, terkadang seseorang yang sudah berpasangan tidak terlalu menjaga batasan-batasannya dengan iparnya dalam hal bersentuhan kulit ataupun menutup aurat, padahal mereka bukan mahramnya.
Batasan terkait Lawan Jenis
Apabila adik atau kakak ipar sering berkumpul bersama tanpa adanya batasan-batasan yang selazimnya, maka cenderung membuat rumah tangga menjadi rusak karena adanya kecemburuan, perselingkuhan, dan perzinaan. Maka batasan-batasan yang telah Islam tetapkan terkait lawan jenis yang bukan mahram harus kita terapkan. (Faidul Qadir 3/124)
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah tidak boleh berkumpul, berinteraksi, ataupun tinggal satu rumah dengan ipar? Jawaban tengahnya adalah boleh, sebagaimana dijelaskan sebelumnya yaitu dengan syarat dan batasan-batasan yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Habib Alwi Alaydrus dalam kitab I’la’ al-Shaut bi Bayani Hadis al-Hamw al-Maut, menjelaskan lebih detail tentang hal ini:
Yaitu yang pertama, tidak boleh ada ikhtilat (berduaan) di manapun baik di rumah, mobil, dapur, dan lain sebagainya. Kedua, saudara ipar perempuan tidak berhias dan memakai parfum, atau hal lain yang intinya hal itu dapat membuka godaan nafsu dan setan, ketiga, saudara ipar harus menjaga batasan aurat.
Akan tetapi, memang yang lebih utama bagi orang yang telah mampu dan berkecukupan untuk tinggal bersama istrinya berjarak dari kerabat-kerabatnya yang bukan mahram dalam rumah yang terpisah. Jika memang tidak berkecukupan dan harus tinggal serumah, maka tidak masalah dengan syarat dan batasan sebagaimana disebutkan.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa hadis tersebut tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada ipar, atau perhatian, dan mengasihinya. Hadis ini juga tidak dapat kita jadikan dalil untuk mencurigai dan memusuhi saudara ipar.
Larangan yang seperti ini untuk menjaga kedamaian hubungan antar suami-istri. Sebagaimana kita ketahui, fitnah dan perselingkuhan yang ditimbulkan oleh ikhtilat itu tidak hanya dengan pintu “ipar” saja. Wallahu a’lam. []