Mubadalah.id – Tren terorisme di Indonesia dimulai dari jaringan. Sebut saja NII (Negara Islam Indonesia), JI (Jamaah Islamiyah), MII (Majelis Mujahidin Indonesia), JAT (Jamaah Ansharu tauhid), JAK (Jamaah Ansharu Khilafah), dan organisasi lainnya. Meskipun berbeda nama dan ketua, namun semua organisasi tersebut memiliki ideologi yang sama, yaitu memaknai jihad sebagai perang, menjadikan aparat kepolisian sebagai thogut, dan narasi ujaran kebencian terhadap pemeluk agama lain.
Seiring berkembangnya zaman dan perubahan teknologi yang mengiringinya, tren terorismepun adaptif terhadap perubahan. Desawa ini aksi radikalisme berbasis kelompok memiliki ruang gerak yang lebih sempit. Hal ini disebabkan karena pemerintah memiliki strategi khusus untuk menanggulangi terorisme melalui pembentukan BNPT dan Densus 88. Segala pergerakan kelompok yang menuju pada gerakan makar dan berideologi radikal segera diantisipasi. Organisasi transnasional dibubarkan, dan melakukan counter attack dengan menggunakan kekuatan militer untuk memukul mundur organisasi teroris.
Lone Wolf Sebagai Tren Baru Terorisme di Indonesia
Namun tak kehabisan akal, menyadari bahwa pergerakan berbasis jaringan lebih mudah untuk dideteksi, muncullah kemudian gerakan separatis parsial. Gerakan ini beraksi atas nama pribadi tanpa membawa nama organisasi. Seperti yang terjadi pada kasus bom tamrin, dan pengeboman Mabes Polri menjelang Hari Paskah pada akhir Maret 2021 lalu. Gerakan ini kemudian dikenal dengan lone Wolf. (Reza, 2020).
Pun demikian dengan objek atau targetnya juga mengalami pergeseran. Dalam aksi terorisme berbasis jaringan, kelompok yang menjadi target brain wash adalah keluarga paruh baya. Sedangkan dalam lone wolf terrorism, targetnya adalah para pemuda milenal yang sedang berupaya menemukan jati diri, merasa inferior, mengalami permasalahan hidup, dan menginginkan kedamaian dengan jalan pintas.
Perubahan target ini bukan tanpa alasan, mudahnya akses informasi tanpa adanya pembatasan berdasarkan umur menjadikan paham radikal lebih mudah untuk disebarluaskan. Para milenial bebas berselancar dan mendengarkan ceramah-ceramah radikal dengan iming-iming surga, menelan mentah-mentah narasi ekstrimis, dan memaknai jihad secara tekstual, tanpa memfilter, tanpa tabayyun, dan hanya menerima satu kebenaran berdasarkan perspektifnya sendiri.
Maka muncullah jamaah fesbukiyah, jamaah instagramiyah, jamaah youtubiyah, jamaah twiteriyah, yaitu mereka yang belajar agama kepada media social, tanpa bimbingan ustadz atau guru. Bahaya belajar agama tanpa panduan seorang ustadz atau ahli agama ini sudah pernah diingatkan oleh Imam Syafii di abad ke 7 Hijriyah. Imam Syafii menyatakan bahwa sebuah ilmu akan bisa didapatkan jika seseorang tersebut memenuhi 6 syarat, antara lain: kepandaian, kemauan keras, sabar, harta, waktu yang panjang, dan bimbingan guru.
Belajar memang bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan menggunakan media apa saja. Namun seperti nasehat yang disampaikan Imam Syafii, bahwa apapun medianya tetap bimbingan guru sangat diperlukan dalam proses menimba ilmu. Bimbingan guru ini diperlukan untuk selalu memberikan nasehat pada murid, membenarkan jika salah, memberikan perspektif yang lebih luas, dan sebagai wadah diskusi dua arah, agar seorang murid tidak memiliki sifat egois yang tinggi dan mempunyai rujukan dalam setiap permasalahan. Tidak menjadi radikal dan merasa ideologinya adalah satu-satunya kebenaran.
Menghapus Akar Radikalisme Melalui Standarisasi Ulama Berwawasan Kebangsaan
Fenomena lone wolf terrorism ibarat gunung es. Menyelesaikan permasalahan kasus per kasus hanya akan menambah ketakutan pada masyarakat, karena tidak terstruktur, maka proses pendeteksiannya sulit dilakukan. Gerakannya senyap dan bisa meledak sewaktu-waktu tanpa diduga. Maka yang perlu untuk segera dilakukan adalah memecahkan bongkahan esnya dan menemukan sumber doktrinasi ideologinya.
Membatasi arus komunikasi internet di tengah globalisasi berbasis daring tentunya sulit dilakukan. Maka langkah strategis yang harus segera diambil oleh pemerintah adalah mengimplementasikan rencana standarisasi penceramah. Seorang penceramah terlebih yang memiliki jumlah follower dan subscriber puluhan juta harus benar-benar dipastikan sudah memenuhi standar untuk menjadi penceramah. Menjauhi narasi-narasi ekstrimis, mengedepankan tasamuh, mengusung kisah-kisah perdamaian, dan senantiasa menjunjung tinggi NKRI.
Menjadi seorang tokoh agama ditengah pluralitas kebangsaan Indonesia memang tidak cukup hanya sebatas memahami agama saja. Namun harus mampu membaca pemahaman agama berperspektif ke-Indonesiaan. Membaca agama dalam kacamata bangsa Indonesia, mampu membedakan budaya dan syariat, dan memahami agama secara kontekstual.
Standarisasi penceramah bukan berarti membatasi kebebasan sesuai dengan amanat UUD 1945. Bukan pula sebagai alat kontrol negara terhadap ulama dan penceramah. Namun sebagai upaya menstandarkan ideologi penceramah berdasarkan wawasan kebangsaan. Terus mengingatkan bahwa saat ini kita adalah masyarakat muslim yang ada di Indonesia, bukan di negara lain. Sehingga tidak perlu berperilaku layaknya masyarakat di belahan bumi lainnya.
Selain standarisasi ulama, diperlukan pula kerja keras Kominfo untuk segera men take down video-video ceramah yang bermuatan radikalisme. Memaknai jihad dengan arti perang, dan himbauan melawan pemerintahan non Islam seringkali menjadi penyemangat kaum milenial untuk menggapai surga dengan jalan pintas di tengah pencarian jati dirinya. Ideologi ini tentunya tak akan terbangun jika seseorang tidak pernah mendengarkan ceramah-ceramah bermuatan radikal dan ekstrimis.
Counter narasi ekstrimis juga harus sering disampaikan di semua platform media online. Memberikan contoh secara terus-menerus tentang bagaimana nabi diberlakukan dan memberlakukan masyarakat nonmuslim Madinah pasca hijrah. Bagaimana nabi hidup berdampingan dengan masyarakat secara umum, karena sejarah ibarat sebuah puzzle, semua fakta di masa lalu adalah kenyataan yang tak bisa diingkari kebenarannya. Pun kita juga tak akan pernah bisa merubah sejarah yang telah terjadi.
Semua kembali pada individu kita masing-masing, mau terus mengambil puzzle berisi kekerasannya, ataukah fokus menyebarkan puzzle sejarah yang berisi perdamaian? []