Mubadalah.id – Jika merujuk ayat dan hadits tentang perempuan sumber fitnah, maka hal tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk merendahkan dan mendeskreditkan mereka.
Potensi fitnah pada diri perempuan, yang disebut oleh ayat dan hadits, tidak membuat mereka lebih rendah dari laki-laki karena dua alasan fundamental.
Pertama, karena prinsip meritokrasi Islam di mana kemuliaan berdasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Sebuah potensi yang ada pada seseorang, jika tidak dibarengi tindakan nyata, maka tidak memiliki nilai apa pun.
Kedua, bahwa potensi fitnah itu juga ada pada laki-laki, yang tentu saja tidak membuat mereka lebih jahat dari perempuan. Jika kita beriman dengan dua pondasi ini, segala cara pandang diskriminatif terhadap perempuan, dengan basis asumsi fitnah, seyogianya segera kita hentikan.
Dan sebagai gantinya, kita perlu menumbuhkan cara pandang positif terhadap kemanusiaan perempuan, sebagaimana juga kepada laki-laki.
Cara pandang positif ini menjadi modal untuk memperbesar basis kesalingan dan kerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, di ranah keluarga maupun sosial.
Fitnah Dalam Perspektif Mubadalah
Jika merujuk perspektif mubadalah tentang potensi fitnah. Maka baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama memiliki potensi pesona (fitnah) dan pada saat yang sama memiliki potensi maslahah.
Stigma fitnah yang hanya pada perempuan adalah salah dan tidak sesuai dengan ungkapan fitnah dalam al-Qur’an yang bersifat resiprokal.
Oleh karena itu, anjuran-anjuran keagamaan yang berdasarkan pada fitnah perempuan harus kita pahami substansi persoalannya dan konteks sosialnya. Yaitu, mengenai anjuran untuk waspada terhadap potensi buruk seseorang dan sesuatu.
Potensi ini ada pada setiap orang dan di segala sesuatu. Bentuknya bisa berbeda-beda di setiap tempat dan waktu. Harta, misalnya, adalah fitnah kehidupan yang harus kita waspadai agar kita tidak tergelincir pada tindakan-tindakan yang justru salah, buruk, dan mudharat.
Fitnah di sini berarti ujian, cobaan, serta juga bisa menggoda dan menggiurkan. Alih-alih mendatangkan kebaikan, harta bisa saja membawa keburukan. Hal yang sama juga dengan jabatan, status sosial, popularitas, anak, keluarga, bahkan ilmu pengetahuan.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.