Mubadalah.id – Jika merujuk seluruh nash yang bicara soal kesaksian selalu menganggap kesaksian perempuan separuh kesaksian laki-laki. Namun sayangnya ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang tidak membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki ini kurang populer dan jarang muncul dalam pembahasan mengenai kesaksian.
Karena yang sering muncul ke permukaan hanya ayat di atas dan hadits tentang kekurangan akal dan agama perempuan.
Akibat dari pemaparan informasi yang tidak proporsional ini adalah munculnya stereotipe tentang perempuan seperti perempuan adalah setengah laki-laki. Lalu perempuan itu kurang akal, dan sebagainya yang ujung-ujungnya mengkristal pada cara pandang dan sikap hidup yang menomorduakan dan mendiskriminasi perempuan.
Akibat ini tidak terelakkan karena sosialisasi pemahaman yang tidak proporsonal itu terjadi selama berabad-abad sehingga menguasai alam pemikiran kaum muslimin. Pemikiran dalam tafsir, hadits, fiqh, dan bahkan sastra tidak terlepas dari warna pemahaman yang demikian.
Oleh karena itu, kita pun patut bertanya mengenai keabsahan penggunaan sebagian (sekali lagi hanya sebagian) ayat dan hadits tentang kesaksian sebagai alasan teologis. Apalagi untuk membenarkan adanya subordinasi dan diskriminasi perempuan.
Jika sebagian nash itu dianggap absah sebagai alasan teologis untuk menilai harga perempuan setengah laki-laki. Maka yang perlu kita pertanyakan kemudian adalah bagaimana halnya dengan nasib teks ayat dan hadits lain. Bahkan ia tidak membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki?
Pertanyaan ini mendorong kita untuk melakukan pembacaan ulang ayat dan hadits mengenai kesaksian perempuan. Hal ini agar tidak terjadi generalisasi masalah berdasarkan sebagian teks dengan mengabaikan sebagian teks yang lain. []