Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan tiga ulama besar, Utsman al-Batti (w. 43 H/663 M), Ibn Syubrumah (w. 144 H/761 M), dan Abu Bakr al-Ashamm (w. 279 H/892 M), maka secara tegas mereka menolak perkawinan anak baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga ulama yang menolak kawin anak ini menyebutkan, perkawinan adalah tindakan berupa tanggungjawab kehidupan yang hanya bisa orang dewasa pikul.
Mereka yang masih anak-anak tidak sah untuk menikah, meskipun wali atau orang tua mereka yang menikahkannya. Karena pernikahan bukanlah sesuatu yang dibutuhkan mereka yang masih di usia anak.
Lebih lanjut, dengan logika tiga ulama klasik ini, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, maka bisa disimpulkan, bahwa pernikahan bukanlah hak dasar anak.
Malah, bisa sebaliknya, bisa menjadi penghalang bagi anak-anak untuk bisa menikmati hak-hak dasarnya untuk tumbuh kembang dalam kehidupan yang menyenangkan, bisa belajar, bermain, dan menguatkan karkater diri dan kesiapan hidup yang relevan.
Sementara itu, jika merujuk fatwa KUPI juga telah mengimplementasikan kerangka maqashid al-syari’ah dengan reinterpretasi al-kulliyyat al-khams demi melindungi mereka yang masih di usia anak dari pernikahan yang nyata-nyata tidak maslahat bagi mereka.
Dengan tegas, fatwa KUPI menyatakan bahwa melindungi anak dari pernikahan adalah wajib hukumnya. Anak di sini adalah konsepsi pertama, yaitu anak yang masih di bawah umur pernikahan. Bukan konsepsi kedua tentang posisi seseorang yang berhak dari kedua orang tuanya.
Dengan demikian, penjelasan ini tidak menghalangi pandangan seseorang yang menyatakan bahwa tanggungjawab pernikahan seseorang masih bisa menjadi tanggungjawab kedua orang tuanya.
Namun yang pasti, perkawinan tidak bisa lagi untuk menjadi hak anak dalam pembahasan fikih kontemporer. Pasalnya fikih kontemporer ini berbasis kerangka maqashid al-syari’ah, pendakatan Makruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki. (Rul)