Mubadalah.id – Setiap hubungan pertemanan tidak selamanya selalu berjalan harmonis. Sebagaimana realitanya, tidak sedikit orang yang terjebak dalam pertemanan berat sebelah. Mereka menjalin hubungan penuh dengan drama atau mendapat perilaku negatif dari temannya sendiri. Namun, mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari pertemanan yang merusak tersebut. Kondisi ini dikenal sebagai pertemanan yang toksik atau toxic friendship.
Dalam psikologi Islam, terminologi toxic friendship merujuk dalam sebuah hubungan pertemanan yang tertandai dengan sifat-sifat ‘beracun’ yang berpotensi merugikan fisik, emosional, maupun spiritual seseorang. ‘Beracun’ dalam hal ini seperti kebalikan dari hubungan yang sehat. Apabila dalam hubungan yang sehat diperbanyak rasa kasih sayang, dan saling menerima, maka toxic friendship adalah kebalikannya.
Ciri Teman yang Toxic
Di antara beberapa ciri teman yang toksik, yaitu suka mengkritik tanpa perasaan, bahkan merendahkan, serta membuat kita merasa tidak cukup baik atau tak layak. Pertemanan yang toxic juga sering kali membawa masalah atau drama dalam kehidupan kita tanpa henti. Seperti membuat merasa cemas, stres, atau lelah.
Mereka tak segan menyakiti, membanding-bandingkan dan memperlakukan kita sebagai sekadar alat untuk mencapai tujuan pribadinya. Teman yang toxic biasanya juga selalu mencoba mengendalikan hidup, keputusan, atau perasaan kita, dan selalu berusaha membuat diri merasa bersalah jika tidak mengikuti keinginannya.
Tips Menghadapi Teman yang Toksik dari Al-Qur’an
Al-Qur’an sering kali mengingatkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Yakni mereka yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Seperti dalam satu ayat, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.” (QS. Ali Imran: 135)
Sering kali, perlakuan buruk seseorang membuat kita bereaksi dengan marah dan berharap hal tersebut akan mengubah perilaku mereka. Padahal sebaliknya, dengan kemarahan justru malah memperburuk situasi atau bahkan menyakiti diri sendiri.
Karena itu, pentingnya kita untuk berusaha mengendalikan emosi ketika menyikapi kezaliman dari orang lain. Dalam konteks ini adalah teman yang toxic. Selain itu, memberi maaf kepada mereka yang bersalah akan menyelamatkan kita dari dampak gangguan yang lebih merugikan diri. Yaitu berupa hati yang selalu penuh dengan amarah dan kebencian. Ketika enggan memaafkan, artinya kita malah menyiksa atau merawat luka dalam diri.
Memaafkan bukan berarti mentolerir kesalahan atau memberi izin teman yang toksik tadi untuk melakukannya lagi. Justru, memaafkan adalah proses yang memungkinkan kita untuk menerima kenyataan dan belajar dari pengalaman tersebut, sehingga kita dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang lebih baik.
Teladan Rasulullah
Sebagaimana jika perilaku teman yang toxic masih bisa diperbaiki, Rasulullah mengajarkan untuk memberikan nasihat dengan cara yang baik. Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman: “Dan berkat rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu…”
Ayat di atas mengajarkan kita untuk menyikapi hubungan pertemanan yang toxic dengan berlaku baik dengan kasih sayang dan tidak membiarkan toxic mereka memengaruhi kita. Juga dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan, kita berusaha memaafkan kesalahan teman dan membantu diri dia memperbaiki perbuatan yang salah tersebut dengan nasehat yang santun.
Akan tetapi, memaafkan dan berlaku baik tidak selalu berarti bahwa kita harus mempertahankan hubungan. Dalam beberapa kasus, penting untuk kita mempunyai boundaries dan melindungi diri dari orang yang terus-menerus melakukan perbuatan toxic.
Sebagaimana dalam Surah al-Maidah ayat 51, Allah mengingatkan kita untuk tidak menjadikan orang-orang yang tidak beriman sebagai teman dekat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu/kawan akrabmu.”
Menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan larangan menjadikan ‘orang-orang kafir’ sebagai awliya mereka. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus, dan merahasiakan kecintaan, serta membuka rahasia kepada mereka.
Pentingnya Memilih Teman yang Sejalan
Secara kontekstual ayat ini menunjukkan pentingnya memilih teman yang sejalan dengan nilai-nilai Islam (kebaikan). Di samping itu, menjauhi teman-teman kafir (buruk) yang memiliki sifat tercela, dan suka membuat makar, serta mempengaruhi orang lain kepada keburukan serupa.
Semasa hidupnya, Rasulullah telah memberikan teladan kepada kita untuk berani menghindari orang-orang yang memberi pengaruh buruk. Seperti dengan orang-orang yang suka mencela atau merendahkan, beliau selalu menghindari konflik dan memilih untuk menjauhi mereka demi menjaga kedamaian dan nilai moral.
Dalam satu riwayat, Rasulullah ketika bersama para sahabatnya pernah bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik dia orang yang zalim maupun yang dizalimi.” Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, aku mungkin bisa membantunya ketika dia dizalimi, tetapi bagaimana aku bisa membantunya ketika dia orang yang zalim? Rasul saw. kemudian bersabda, “Kalian bisa mencegahnya dari perbuatan zalim. Itu akan menjadi pertolongan kalian kepadanya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Di sisi lain, Rasulullah juga menekankan pentingnya memilih teman yang dapat membantu kita dalam kebaikan, seperti dalam hadits: “Seseorang itu tergantung pada agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud)
Oleh sebab itu, jika kita merasa terjebak dalam pertemanan yang toxic, penting untuk menilai apakah hubungan tersebut memberi dampak positif atau justru merugikan. Jika hubungan itu lebih banyak merugikan, kita mungkin perlu membicarakan masalah ini atau bahkan mempertimbangkan untuk menjauh dari pertemanan tersebut demi kesejahteraan diri kita sendiri. Wallah a’lam.[]