Mubadalah.id – Ujian menjadi suami sebetulnya berlaku sebagaimana ujian menjadi istri. Menjadi suami maupun istri, sama-sama tidak gampang dan karena itu melekat ujian. Bersyukurlah para suami dan istri yang masih bertahan dalam rumah tangga betapapun ujian demi ujian terus menghampiri.
Izinkan kali ini saya akan mengupas bagaimana beratnya ujian terhadap laki-laki yang telah menikah dan berumah tangga. Apa yang akan saya kupas, awalnya tergerak oleh pertanyaan seorang Muslimah muda dalam sebuah acara kajian Islam yang diajukan sambil berurai air mata.
Rupanya seorang Muslimah tersebut belum lama telah mengalami perceraian. Kalau ditimbang-timbang, sebetulnya usia pernikahannya sudah lebih dari 10 tahun, sebab di sana dikatakan bahwa anak pertamanya telah berusia 10 tahun, sekira anak usia kelas 4 SD, sementara anak keduanya berusia 1 tahunan lebih.
Dalam kesempatan tersebut, seorang Muslimah mengajukan tidak kurang dari 3 pertanyaan: tentang perceraian apakah itu takdir atau egoisme, bagaimana cara menjelaskan perceraian kepada anaknya, dan apakah berdosa kalau ia tidak lagi mau menikah?
Tidak Memaknai Tabu Perceraian
Saya akan berusaha menjawabnya pelan-pelan. Kuat atau tidak, setuju atau belum, perceraian sebaiknya tidak dimaknai secara tabu. Perceraian bukan aib dan azab. Perceraian hanyalah salah satu dari sekian konsekuensi dari pasangan istri dan suami yang tengah berumah tangga.
Cara pandang tentang perceraian seperti ini perlu untuk terus disampaikan kepada khalayak agar berhasil atau tidaknya seseorang dalam kehidupan, tidak serta-merta hanya diukur dengan perceraian. Sebab pada faktanya ada banyak seorang istri yang tegas memilih bercerai lalu kehidupannya jauh lebih baik.
Apapun yang terjadi, apakah itu kita lalui dengan ikhtiar yang maksimal atau tidak, adalah bagian dari takdir Allah. Penyebabnya macam-macam, apakah karena ego salah satu pihak atau kedua belah pihak antara istri dan suami. Dan penyebab terjadinya perceraian yang lain. Betapapun memang berat, perceraian harus dihadapi bukan diratapi.
Awalnya tidak percaya, di luar perkiraan dan kecewa berat, semua perasaan itu menunjukkan bahwa kita hanya manusia biasa, manusia normal sebagaimana pada umumnya manusia. Apapun yang terjadi, semuanya tetap harus kita jalani. Dalam bahasa agama kita, Islam, kita harus terus melatih sikap tawakal: berserah diri seraya menerima apapun yang Allah takdirkan untuk kita.
Sebetulnya perceraian dalam banyak sisi bisa lebih melegakan ketimbang masih dalam jalinan rumah tangga tetapi penuh dengan kepura-puraan dan manipulasi. Apalagi tidak ada upaya untuk saling memperbaiki. Bukan hanya hambar, tetapi juga cepat atau lambat semuanya akan meledak.
Perceraian tidak Membuat Anak Jauh dari Ayahnya
Buat apa kita termakan gengsi dan hidup ukurannya adalah kacamata orang lain. Rela menggadaikan rumah tangganya hanya karena ingin terlihat harmonis di mata orang lain. Oleh karena itu, menghadapi perceraian berarti akan siap menghadapi risikonya, termasuk memberikan edukasi kepada anak.
Salah satu bentuk edukasi paling penting yang mestinya bisa kita upayakan adalah bagaimana perceraian tidak membuat anak jauh dari Ayahnya. Akan ada kesepakatan yang berdasarkan sikap kedewasaan bahwa suatu saat anak pasti akan terus beranjak dewasa, kita jelaskan atau tidak, cepat atau lambat anak pun akan mengerti dengan sendirinya.
Setidak-tidaknya ikuti saja seperti air mengalir, kalau masih merasa berat karena terbawa perasaan. Idealnya sang Ibu bisa menjelaskan realitas hidupnya kepada sang anak secara perlahan.
Lalu apakah boleh kalau seorang istri yang telah bercerai punya niatan untuk tidak mau menikah lagi seumur hidup? Saran saya sebaiknya jangan cepat-cepat mengambil keputusan, apalagi masih dalam suasana masih sesak dan campur-aduk. Istirahatkan saja dulu fisik, pikiran dan jiwanya. Sambil terus fokus dalam mendidik anak-anak dan mencari rezeki.
Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga. Jangan lihat komentar bahkan cibiran orang lain. Hidup kita, kita yang menjalani. Ada banyak istri yang menikah lagi setelah bercerai kemudian bisa merasakan rumah tangga yang langgeng dan jauh lebih baik. Kalau seiring berjalannya waktu memang sama sekali tidak ada lagi hasrat untuk menikah, ya mau gimana lagi, selain terus memohon petunjuk kepada Allah.
Insya Allah akan dilanjutkan seri catatan berikutnya masih seputar “Ujian Menjadi Suami” karena masih ada hal yang belum terkupas. []