Mubadalah.id – Sebagai masyarakat yang amat menghargai konsep keluarga dan kerabat, orang-orang Indonesia melihat anak tidak hanya sebatas sebagai penerus, tapi anak juga dipandang sebagai asset dan manisfestasi kebanggaan untuk jangka panjang. Sehingga kita banyak menjumpai upacara adat di Indonesia untuk menyambut kelahiran anak.
Dengan landasan tersebut, keluarga memerankan fungsi penting dalam hal penjagaan dan perawatan anak hingga ia tumbuh besar nanti. Tak heran, dengan pandangan bahwa anak adalah harta keluarga, banyak tradisi atau budaya yang ada bertujuan untuk memohon keselamatan buah hati kepada Sang Maha Pencipta.
Tradisi Upacara Adat Menyambut Anak di Beberapa Daerah
Salah satu contoh tradisinya adalah pelaksanaan upacara adat jelang kelahiran anak di lingkungan masyarakat Sunda, Jawa, dan di beberapa daerah lainnya. Tahapannya sendiri tidak hanya satu langkah saja. Namun melewati beberapa proses yang dimulai dengan pembacaan doa bersama sebelum sang anak lahir.
Selanjutnya, diikuti dengan mandi-mandi. Makna di balik acara ini yaitu memberikan simbol bahwa anak sejatinya adalah anugerah terbesar dari Tuhan bagi orangtua. Dalam prosesi mandi-mandi, seorang ibu akan dimandikan dengan air yang berisi tujuh macam bunga dan tujuh air sumur dari rumah yang berbeda. Acara ini di akhiri dengan pembelahan kelapa gading.
Ritual pemotongan kelapa sendiri bertautan dengan pertanda jenis kelamin sang anak. Bila ketika terbelah, air kelapa yang keluar amat banyak, mereka percaya bahwa nanti anak yang akan lahir berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan bila yang terjadi sebaliknya, masyarakat meyakini bahwa anak yang lahir akan berjenis kelamin perempuan.
Usai prosesi mandi sang ibu tadi, acara akan berlanjut dengan tradisi ‘berjualan’ rujak oleh si ibu hamil tadi. Lazimnya rujak yang ia jajakan, rujak pada tradisi jelang lahiran juga berisi aneka macam buah. Semua buah tadi akan tersaji dan langsung si ibu hamil yang meramu. Kemudian membaginya kepada kerabat atau orang yang hadir dalam upacara tradisional yang digelar.
Pelibatan Ayah dalam Prosesi Upacara Adat
Bahkan di Jawa Timur, yang menjajakan tidak hanya ibu saja, tapi sang ayah juga terlibat. Rujaknya pun spesial, rujak yang mereka gunakan dalam prosesi ini ialah “Rujak Gobet”. Rujak Gobet merupakan salah satu makanan tradisional Jawa yang berasal dari daerah Malang, Jawa Timur.
Rujak yang terdiri dari beraneka buah seperti bengkuang, nanas, pencit (mangga muda), blimbing, jambu, babal (nangka muda), kedondong, asem dan racikan bumbu lainnya. Di mana dalam racikan itu memiliki rasa asam, manis, pedas dan segar menjadi satu. Hal ini membuat Rujak Gobet ini menjadi menarik dan unik. Bahkan baunya yang menggoda membuat semua orang mendekat dan ingin mencicipinya.
Meski terkesan sederhana, ‘berjualan rujak’ yang mereka jajakan memiliki makna mendalam. Harapan tersirat dari acara ini yaitu anak yang terlahir di kemudian hari dapat memiliki masa depan yang cerah dan kemampuan finansial yang cukup ketika ia dewasa.
Tak hanya itu, ia juga diharapkan dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat, seperti yang disimbolkan melalui beragam buah yang tersaji dalam rujak. Dari makna simbolik upacara adat tadi dapat kita artikan bahwa tradisi kita sejatinya amat menjunjung tinggi toleransi dan amat mengharapkan bila generasi penerus dapat menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Di samping rujak, ada juga yang melengkapinya dengan dawet/cendol dan hidangan pendamping lainnya. Yang unik, menurut tradisi yang mereka percayai oleh masyarakat setempat, bila rasa dawet dan rujaknya sedap, kemungkinan besar anaknya perempuan. Bila kurang mantap, mereka percaya anaknya laki-laki.
Simbol Pengasuhan Bersama dalam Upacara Adat
Prosesi dodol rujak dan cendol yang sang calon ayah lakukan, dan calon ibu ini dimulai dari calon ayah. Ia membawa payung untuk memayungi calon ibu yang sedang membawa wadah untuk menampung hasil jualan. Uang yang mereka gunakan yaitu uang koin yang terbuat dari tanah liat atau biasa mereka sebut kreweng. Setelah itu, calon ayah akan menerima uang dari pembeli untuk ia masukkan dalam wadah tersebut dan sang calon ibu melayani para pembeli.
Jika kita amati dengan seksama, cendol dan rujak yang sepertinya sepele ternyata menyimpan pengharapan mendalam berkaitan dengan makna anak sebagai generasi penerus di masa depan. Sayangnya, justru kita sebagai masyarakat yang lahir di era digital menganggap bahwa semua prosesi tradisional adalah hal kuno yang tidak perlu kita lestarikan, dan lebih memilih mengikuti tren modern ala masyarakat kapitalis yang penuh dengan pesta pora.
Padahal, jika kita gali nilai-nilainya, acara adat Indonesia untuk menyambut kelahiran anak menyimpan pengharapan besar orangtua yang sangat selaras dengan ajaran Islam, yakni menjadi khalifah di muka bumi.
Bagaimana tidak, dari awal sebelum lahir, sang anak sudah berkenalan dengan berbagai diversitas/keragaman. Tentu hal ini menyiapkan mereka agar tidak bersikap eksklusif. Tak hanya itu, keinginan agar sang anak memiliki rezeki yang melimpah juga berkelindan dengan satu harapan. Bahwa modal yang ia miliki dapat terkontribusikan kepada masyarakat luas. Yakni (disimbolkan dengan ‘menjajakan’ cendol dan rujak).
Oleh karenanya, tak perlu kiranya memandang sebelah mata upacara adat tradisional. Sebab bila kita mau belajar, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya justru sangat positif. Dan ini merupakan bentuk dukungan bagi para orangtua, terutama ibu dalam menjalankan amanah dari Tuhan yang Maha Kuasa. []