Mubadalah.Id– Video #1MenitMoodbooster tengah ramai di media sosial. Penyebabnya adalah Hanan Attaki. Ia adalah sosok pendakwah muda yang digandrungi banyak anak muda sekarang, style berpakaiannya cenderung ala anak gaul milenial dengan memakai penutup kepala “kupluk”, tanpa peci dan sorban yang menempel di tubuhnya. Ia popular di kalangan masyarakat yang usianya tergolong muda, namun cinta dengan kehidupan yang Islami.
Kalangan yang termasuk dari kelompok ini adalah kelas menengah perkotaan. Yang notabene memiliki akses teknologi dan pendidikan yang baik. Informasi digital dan teknologi sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kelas sosial ini. Segalanya dapat diperoleh dengan instan dan cepat melalui teknologi digital yang mereka miliki.
Namun, di tengah kehidupan yang modern, mereka justru merindukan asupan bernuansa spiritual untuk hati dan jiwa mereka yang dahaga. Kebutuhan spiritual itulah yang mungkin menjadi sandaran mereka untuk mencari obat penawarnya, yaitu agama.
Hanan Attaki, melalui kanal-kanal dakwah digitalnya, akan sangat mudah ditemui oleh mereka yang mencintai kehidupan islami di era yang serba canggih ini. Dengan konten ceramah yang menawarkan berislam dengan mudah, tentu tepat untuk menyasar anak muda yang ‘anti ribet-ribet club’ dalam beragama.
Belakangan Ustadz digital ini viral karena video ceramahnya yang menyebut ciri perempuan saleha adalah yang memiliki berat badan tidak lebih dari 55 kg. Video ceramahnya #1MenitMoodbooster yang berisi tentang perempuan saleha 55 kg itu sedang ramai diperbincangkan di media sosial. Berikut kutipan Video #1MenitMoodbooster;
“Salah satu wanita saleha itu beratnya tidak boleh lebih dari 55 kg. Tahu dari mana? Nanti baca lagi tentang haditsul ifki,” tutur Ustadz gaul itu dalam video ceramahnya.
“Setelah saya teliti teks-teks tentang Aisyah. Aisyah itu ternyata anaknya cewek gaul, pinter, traveler banget, kurus, tinggi. Berat maksimal maksimal 55-60 kg, 55 lah,” lanjutnya.
Menurut Ustadz tersebut, kata para sahabat yang membawa tandu Aisyah, istri Rasul itu ringan. Tandu yang dipakai untuk membopongnya kira-kira beratnya hanya 55 kg. Aisyah lebih ringan dari tandu yang membawanya.
Dalam video itu Ustadz tersebut menyarankan jamaahnya membaca kembali haditsul ifki untuk mengecek kebenaran informasi mengenai kisah Aisyah yang ia bagikan. Sontak, ini membuat warganet bertanya-tanya, benarkah isi hadits yang dimaksud Ustadz tersebut demikian?
Tetapi saya tak ingin membahas hadits tersebut, karena saya tak memiliki kapasitas yang lebih untuk membahasnya. Yang menjadi perhatian saya adalah ukuran kesalehaan seseorang yang dipandang dari berat badannya.
Bukankah parameter kesalehaan seseorang dipandang dari perbuatan baik yang ia kerjakan?
Dalam Q.S. An-Nahl: 16: 97, dinyatakan: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Secara bahasa kesalihaan berarti segala perbuatan baik, dan sejatinya tidak membedakan bentuk amal saleh, baik di ruang publik maupun domestik, kerja-kerja produktif maupun reproduktif, yang terkategori sebagai ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah. Siapapun yang melakukannya, baik laki-laki maupun perempuan.
Atau mungkin, jika yang dimaksud ustadz tersebut kriteria kesalihaan perempuan bisa diukur dari bentuk fisik yang selalu menjaga berat badan, agar terlihat menyenangkan bila dipandang pasangan. Bisakah kriteria “perempuan saleha” bagi laki-laki, juga dimaknai sebagai kriteria “laki-laki saleh” bagi perempuan?
Seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW suka berhias diri untuk menyenangkan istrinya sebagaimana Nabi suka melihat istrinya berhias untuknya. Nabi senantiasa berhias menjadikan dirinya menyenangkan bila dipandang oleh istrinya.
Tak adakah laki-laki yang tergerak meneladani Rasul dalam upaya menciptakan romantisme melalui sikap dan perbuatan baik pada pasangan?
Laki-laki yang menyenangkan bila dipandang oleh istrinya, yang bisa memenuhi harapan-harapan istrinya—seperti terlibat bersama-sama dalam mengerjakan pekerjaan domestik dan pendidikan anak.
Semestinya kita harus bersikap adil untuk menentukan standar kesalihan seseorang dari perbuatan baik yang ia lakukan, bukan dari bentuk fisik atau ketubuhan.[]