Mubadalah.id – Ketika bencana banjir bandang dan longsor kembali melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, publik ramai membahas curah hujan ekstrem dan perubahan iklim sebagai pemicu utama. Namun bagi Uli Arta Siagian, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, musibah itu sebagai konsekuensi panjang dari cara negara mengatur sumber daya alam selama puluhan tahun.
Uli menegaskan bahwa bencana ini bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola yang telah diperingatkan sejak lama. Menurutnya, selama negara terus mempertahankan model pembangunan yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin ekonomi, kerentanan ekologis akan terus menganga.
“Kalau kita ingin kejadian ini tidak terus berulang, bukan hanya di tiga provinsi, tetapi di seluruh Indonesia. Maka harus ada koreksi menyeluruh terhadap kebijakan lingkungan dan sumber daya alam,” ujar Uli.
Dan koreksi yang dimaksudnya bukan tambal sulam, tetapi perombakan struktur kebijakan dari akar hingga ke implementasinya.
Izin Dipermudah, Kajian Lingkungan Dikesampingkan
Uli menyebut salah satu akar masalah adalah pendekatan negara yang terlalu longgar dalam menerbitkan izin usaha tambang. Banyak undang-undang dan regulasi, menurutnya, memang didesain untuk mempermudah proses perizinan, namun mengabaikan aspek krusial yaitu soal kajian lingkungan dan suara masyarakat.
“Kebijakan kita hari ini tidak memberi ruang pada rakyat untuk mengatakan setuju atau tidak. Padahal mereka yang paling merasakan dampaknya,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya kebijakan inklusif, bukan hanya konsultasi formal. Tetapi mekanisme substantif yang memastikan partisipasi masyarakat menjadi dasar pengambilan keputusan.
Di saat yang sama, negara memiliki peta risiko bencana yang sangat lengkap, disusun oleh BNPB. Namun peta itu, kata Uli, jarang dipakai sebagai kompas kebijakan.
“Selama wilayah itu punya potensi tambang atau kayu, meski jelas-jelas rawan bencana, izin tetap pemerintah keluarkan,” tegasnya.
Inilah yang menurutnya harus dibalik, yaitu ekosistem tidak boleh lagi dikelola berdasarkan proyeksi keuntungan, tetapi berdasarkan tingkat kerentanan wilayah.
Evaluasi Total Izin di Sumatera
Bagi WALHI, langkah mendesak yang harus diambil pemerintah adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin usaha di Indonesia dimulai dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang kini menghadapi dampak terparah.
Dengan begitu, izin-izin yang berada di kawasan hutan atau wilayah yang sudah dipetakan sebagai rentan bencana harus dicabut tanpa kompromi. “Selama izin-izin itu dibiarkan, risiko bencana tidak akan berkurang. Justru akan semakin naik,” ujar Uli.
Evaluasi ini bukan hanya soal mencabut izin, tetapi juga memastikan bahwa proses pemulihan ekosistem mereka lakukan dengan standar yang jelas dan kita awasi dengan ketat.
Ia menilai tidak ada alasan teknis maupun hukum untuk menunda langkah ini, karena kerangka regulasi sudah tersedia yang kurang hanyalah kemauan politik.
Rakyat Menanggung Risiko
Dalam analisis Uli, salah satu persoalan terbesar adalah ketimpangan antara mereka yang menikmati keuntungan dan mereka yang menanggung risiko. Korporasi yang mendapat izin eksploitasi sumber daya alam memperoleh keuntungan besar, tetapi tidak tinggal di wilayah yang terdampak langsung kerusakan.
“Saya yakin, para pemilik keuntungan terbesar di tiga provinsi ini tidak tinggal di sana. Mereka hidup nyaman di kota-kota besar, sementara masyarakat di Aceh dan Sumatera menghadapi banjir dan longsor,” ujarnya.
Oleh karena itu, negara harus tegas menagih pertanggungjawaban mereka, mulai dari biaya pemulihan lingkungan hingga kontribusi dalam penanggulangan bencana.
Menurut Uli, undang-undang sebenarnya sudah mengharuskan perusahaan melakukan reklamasi dan pemulihan sebelum membuka blok baru. Namun kenyataannya jauh dari ideal.
“Sebelum satu blok dipulihkan, perusahaan sudah membuka blok lain. Tidak ada monitoring, tidak ada penegakan hukum,” tegasnya.
Ia menilai negara selama ini terlalu lemah dalam menegakkan kewajiban korporasi. Padahal, kewenangan hukum sepenuhnya ada di tangan pemerintah. “Negara punya instrumentasi lengkap. Yang hilang hanya keberanian.”
Menuju Kebijakan Lingkungan yang Berpihak pada Keselamatan Publik
Uli menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa bencana ekologis yang terjadi di Aceh dan Sumatera bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari pilihan politik. Selama negara memprioritaskan investasi tanpa mempertimbangkan risiko ekologis dan keselamatan warga, bencana akan selalu mengintai.
“Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan regulasi, tidak kekurangan ahli. Yang kita kekurangan adalah komitmen,” katanya.
Perubahan, menurutnya, harus kita mulai dari pengakuan bahwa keselamatan publik harus menjadi dasar utama dalam menentukan arah tata kelola lingkungan.
Bagi Uli, itulah satu-satunya cara menghentikan siklus bencana yang terus berulang di Aceh, Sumatera, dan seluruh Indonesia. []







































