Saya dibuat cekikikan melihat penampilan teman-teman dalam sosok avatar di dunia maya yang belakangan bermunculan di laman facebook. Ada yang memang mirip, setidaknya, dengan atribut-atribut yang menggambarkan citra dirinya, ada juga yang sama sekali tak mirip-mirip acan. Karenanya malah jadi tambah lucu.
Namun di tengah rasa yang “gimana gitu” melihat avatar yang mewabah itu, adik saya (dia biasa panggil saya Teteh- Mbakyu, jadi sumpah ini bukan sapaan primordial), Dr. Muhamad Ali, Profesor Religious Studies pada University of California, Riverside menulis isu ini rada serius dengan menggunakan sudut pandangan agama-agama sesuai dengan kepakarannya. Jadilah kita mendapat manfaat lebih dari sekedar melihat sosok-sosok avatar itu.
Menurutnya kata avatar berasal dari kata Sansekerta; “turun, dan mewujud”. Ini merupakan sebuah konsep penting dalam agama-agama, tak terkecuali Islam meski aslinya ada dalam tradisi Hindu (India). Dalam konsep agama Hindu sebagaimana terdapat dalam syarah kitab Weda seperti Ramayana dan Bagawad Gita, atau dalam karya sastra Hindu, Avatar artinya penjelmaan dewa/dewi di bumi: Misalnya titisan atau avatar dewa Wisnu yang ketika turun ke bumi berubah wujud menjadi Khrisna, atau dalam bentuk manusia seperti Rama pasangan Sinta dalam epic Ramayana. Avatar titisan dewa- dewi ini bisa juga berwujud binatang seperti Ganesha, atau jenis binatang lainnya yang darinya memancarkan sifat-sifat dewata.
Menurut Prof. Muhamad Ali lebih lanjut, konsep avatar sebetulnya ada dalam agama-agama lain seperti dalam konsep reinkarnasi atau konsep utusan Tuhan yang turun ke bumi dan kadang-kadang mewujud manusia yang datang dalam mimpi atau setengah mimpi. Dalam tradisi Islam, konsep sejenis ini dikenali dalam kisah-kisah tentang pertemuan Nabi dengan Malaikat Jibril yang menjumpainya dalam wujud manusia dan datang “bertamu”.
Saya pernah menekuni sebuah aliran tarikat di Jawa Barat untuk kepentingan skripsi. Saya perhatikan dalam tradisi sufi, konsep avatar sama sekali tidak aneh. Seorang guru tarekat yang ada di Jawa dapat begitu saja diterima klaimnya bahwa ia telah bertemu dengan gurunya di Mekah dan telah membaiatnya sebagai khalifah dari tarikat itu.
Murid-muridnya akan menerima klaim itu karena di dalam ajaran tarikat itu ada semacam “konsep avatar” yang mereka yakini sebagai penjelmaan sosok ruhaniah sang guru atau malaikat. Belakangan, saya sering menyimak kisah-kisah kesaksian orang yang pindah agama dari agama apapun ke agama apapun, salah satu yang menjadi titik baliknya adalah merasa ada yang hadir dan bicara padanya dengan efek memberikan rasa damai, mengangkat beban derita kehidupannya.
Dalam tafsir saya, berdasarkan uraian Prof. Muhammad Ali, itu pun sejenis avatar yang diklaim seseorang. Dan karena inti beragama adalah pengalaman, klaim semacam itu tentulah sah adanya. Di luar itu, saya merasa avatar- avatar animasi wajah orang ini sepertinya dapat menantang “tetangga sebelah” yang berkeras meyakini dan mendakwahkan bahwa wajah perempuan adalah aurat dan sumber fitnah dan karenanya tak boleh ditampilkan.
Beberapa saat lalu kita dibuat terheran -heran ketika sebuah perguruan tinggi yang akan menyelenggarakan “pemilu” untuk memilih ketua/ pengurus BEM, mewajibkan calon peserta perempuan untuk menutup mukanya atau tidak menampakkan wajahnya dengan alasan muka perempuan adalah aurat yang harus ditutup. Karenanya yang muncul di poster kemudian calon peserta “pemilu” dengan sosok wajah yang diburamkan, atau gambar animasi boneka (aduh!) atau pakai hijab.
Sekarang dengan teknologi animasi avatar di dunia maya seperti itu, muka perempuan muncul bukan dalam bentuk foto asli dirinya melainkan “avatar”. Nah loh, jadi bagai mana hukumnya ustadz? haram juga? []