Mubadalah.id – Di era sekarang, masih sering kita jumpai anggapan bahwa otoritas ilmu hanya dimiliki oleh laki-laki. Ulama, kiai, atau guru besar hampir selalu dikaitkan dengan sosok laki-laki. Perempuan lebih sering terposisikan sebagai murid, pengikut, atau hanya pendengar. Pandangan ini begitu mengakar hingga banyak yang berasumsi bahwa tradisi keilmuan Islam sejak awal memang menyingkirkan perempuan dari ruang otoritas.
Padahal, sejarah Islam justru menyimpan banyak catatan tentang perempuan ulama yang terakui kapasitas dan otoritasnya. Mereka bukan hanya belajar, tetapi juga mengajar, memberi fatwa, bahkan menjadi rujukan ilmiah bagi para ulama laki-laki. Salah satunya adalah Zaynab binti al-Kamal, seorang muhadditsah (ahli hadis perempuan) yang hidup di abad ke-13 di Damaskus.
Nama lengkapnya adalah Um Abdullah Zainab binti Ahmad bin Abdulrahim al-Maqdisiya al-Dimashqiya, wafat pada tahun 740 H/1339 M. Ia lahir dan besar di Damaskus, sebuah kota yang pada masa Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk terkenal sebagai pusat peradaban dan keilmuan Islam.
Konteks sosial intelektual Damaskus pada masa itu sangat penting untuk dipahami. Kota ini dipenuhi madrasah, perpustakaan, masjid, dan majelis ilmu yang berkembang pesat. Hadis Nabi menjadi disiplin ilmu yang sangat diminati, sehingga lahir banyak ulama hadis yang mengajar dan meriwayatkan hadis. Dalam atmosfer seperti itulah Zaynab tumbuh dan berkembang.
Terbiasa Duduk di Majelis Ilmu
Sejak muda, Zaynab sudah terbiasa duduk di majelis ilmu. Ia belajar kepada banyak guru besar, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Catatan biografi menyebut bahwa ia mendapat ijazah periwayatan hadis dari sejumlah ulama otoritatif di masanya.
Bidang yang ia kuasai bukan hanya hadis, tetapi juga fikih dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Namun, reputasinya yang paling menonjol adalah sebagai seorang muhadditsah yang disegani. Ia mampu menghafal, meriwayatkan, dan menjelaskan hadis dengan ketelitian tinggi, sehingga banyak murid datang untuk belajar kepadanya.
Memiliki Otoritas Ilmu
Zaynab binti al-Kamal bukan hanya perempuan yang belajar ilmu agama. Ia justru berdiri sebagai otoritas ilmu. Banyak ulama laki-laki yang akhirnya menjadi tokoh besar datang kepadanya untuk mendengar riwayat hadis dan mencatat sanad melalui dirinya.
Dalam Mu‘jam al-Samā‘āt al-Dimashqiyya, menyebut nama Zaynab binti al-Kamal sebagai ketua majelis al-samā‘ sebanyak 34 kali. Catatan ini menunjukkan betapa aktifnya ia dalam tradisi transmisi hadis. Karena reputasinya, ia bahkan digelari Musnidat al-Syām, yaitu otoritas sanad hadis terkemuka di wilayah Syam.
Lebih dari itu, Imam Ibnu Katsir ulama besar yang terkenal dengan karya tafsir al-Bidāyah wa al-Nihāyah menuturkan bahwa ia mendengar langsung bacaan kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik dari Zaynab di Masjid Hanabilah, dekat Gunung Qasioun, Damaskus. Kesaksian ini menjadi bukti nyata bahwa ulama besar laki-laki menjadikan Zaynab sebagai guru.
Muncul Dalam Karya-Karya Biografi Ulama Besar
Nama Zaynab binti al-Kamal juga muncul dalam karya-karya biografi ulama besar. Adz-Dzahabi, seorang sejarawan dan kritikus hadis terkenal, menulis tentang Zaynab dengan penuh penghormatan. Begitu pula Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama hadis abad ke-15 yang karya-karyanya hingga kini menjadi rujukan utama, menyebut Zaynab sebagai salah satu guru dalam jalur sanadnya.
Kedua tokoh besar ini jelas tidak sembarangan dalam mencatat nama seseorang. Jika Zaynab mereka masukkan ke dalam daftar guru, berarti kapasitas keilmuannya memang teruji dan terakui. Catatan semacam ini membuktikan bahwa otoritas ilmiah perempuan dalam Islam pernah hadir dan mendapat tempat terhormat.
Kehadiran Zaynab binti al-Kamal membantah anggapan bahwa perempuan sejak awal terpinggirkan dari ruang ilmu. Justru sebaliknya, sejarah mencatat adanya jaringan luas ulama perempuan, khususnya dalam bidang hadis.
Zaynab hanyalah salah satu contoh. Masih ada banyak nama lain seperti Karima al-Marwaziyyah, Aisyah binti Muhammad al-Ba’uniyyah, atau Umm al-Darda. Mereka semua menjadi saksi bahwa tradisi Islam klasik tidak menutup pintu bagi perempuan untuk menjadi ulama dan otoritas ilmu.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi penghormatan terhadap ulama perempuan mulai terkikis. Sistem pendidikan Islam yang semakin formal dan institusional seringkali hanya memberi ruang kepemimpinan kepada laki-laki. Akibatnya, nama-nama perempuan ulama terlupakan, seakan-akan mereka tidak pernah ada.
Otoritas Keilmuan Bukan Hanya Hak Laki-Laki
Kisah Zaynab binti al-Kamal memiliki pesan penting untuk perempuan Muslim hari ini. Bahwa pendidikan dan otoritas keilmuan bukan hanya hak laki-laki. Sejarah sendiri sudah menunjukkan bahwa perempuan pernah berdiri sejajar dalam ruang ilmu, bahkan menjadi guru bagi para ulama besar.
Di tengah tantangan patriarki yang masih kuat, kisah Zaynab adalah pengingat bahwa Islam sebenarnya memiliki tradisi egaliter dalam ilmu. Jika hari ini perempuan Muslim ingin menuntut ilmu tinggi, menjadi akademisi, peneliti, atau ulama, maka mereka sedang melanjutkan warisan sejarah yang pernah ada.
Dari kisah Zaynab, menjadi bukti bahwa ulama perempuan bukanlah hal baru atau hasil pengaruh Barat. Justru sebaliknya, ulama perempuan adalah bagian dari tradisi Islam yang sudah ada sejak masa klasik. Untuk itu, baik ulama perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki otoritas ilmu, sama-sama berhak mengajar dan menjadi rujukan. []