Mubadalah.id – Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan kembali menggelar rangkaian kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025, pada Selasa (9/12/25), di Area Parkir Lingkungan DKIS Kota Cirebon. Puluhan peserta dari berbagai komunitas, aktivis perempuan, unsur pemerintah daerah, hingga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memenuhi ruang pertemuan itu.
Kegiatan 16 HAKTP ini menghadirkan narasumber Admin Media Sosial Mubadalah.id, Aida Nafisah. Ia mengajak peserta melihat lebih dalam bagaimana media mempengaruhi cara publik memahami kekerasan, tubuh perempuan, dan relasi kuasa di masyarakat.
Sejak awal pemaparan, Aida menekankan bahwa masyarakat hari ini tidak lagi bisa hidup tanpa media. Hubungan manusia dengan media sudah menyatu di dalam ritme keseharian. Mulai dari bangun tidur hingga kembali memejamkan mata.
“Kita tahu lebih dulu bencana di Aceh dan Sumatera daripada masalah yang terjadi di lingkungan kita. Bahkan sebelum bertemu seseorang, kita sudah mengenal dia dari berita dan unggahan media sosial,” katanya.
Inilah kedekatan yang membuat media bukan sekadar alat penyampai informasi. Tetapi meminjam istilah banyak peneliti komunikasi, ia sebagai pembentuk kesadaran publik.
Aida menegaskan bahwa persoalan muncul ketika media tidak peka terhadap isu gender. Bahasa yang digunakan wartawan, cara framing berita, hingga pilihan gambar sangat menentukan apakah publik memahami kekerasan sebagai kejahatan atau atau sekadar drama keluarga.
“Ketika media salah menafsirkan, menggunakan bahasa yang bias gender, atau bahkan memanfaatkan kekerasan sebagai clickbait, maka pemahaman publik ikut menjadi bias,” jelas Aida.
Sebagian peserta mengangguk. Mereka mengenal terlalu banyak berita yang menarasikan perempuan sebagai pemicu masalah dalam kasus kekerasan, atau mengaburkan posisi pelaku laki-laki dengan bahasa seperti perselingkuhan, pertikaian, atau cekcok rumah tangga.
Perempuan dalam Budaya Populer
Selama sesi diskusi, Aida mengajak peserta melihat bagaimana pesan tentang perempuan diproduksi dalam budaya populer. Ia menyinggung tontonan yang paling akrab di kalangan peserta seperti drama Korea.
“Dalam banyak series, relasi laki-laki dan perempuan masih timpang. Cemburu dianggap romantis. Tubuh perempuan sering diseksualisasi. Pakaian perempuan dijadikan alasan konflik,” jelasnya.
Narasi seperti ini, jika terus berulang, tidak hanya membentuk persepsi tentang perempuan. Tetapi juga membentuk kontrol berlebihan, kekerasan verbal, hingga relasi tidak setara dalam keluarga.
“Media menampilkan perempuan sebagai inferior, tidak berdaya, atau hanya objek romansa. Itu pola yang berlangsung lama,” tukasnya. []











































