Mubadalah.id – Istilah perspektif korban yang sering kita dengar dalam pembahasan mengenai tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) seyogianya seluruh pihak pahami, termasuk para tenaga kesehatan. Upaya pemerataan ini selain sebagai bentuk komitmen untuk mencegah TPKS, juga selaras dengan sumpah jabatan yang para nakes ambil.
Ada alasan mengapa profesi kesehatan harus melakukan pengambilan sumpah jabatan. Tidak semata soal profesionalisme namun karena profesi kesehatan sangat dekat kaitannya dengan kemanusiaan. Bagaimana rasanya jika kita adalah penyintas KS dan menjadi bahan konten dengan dalih edukasi ? saya berani bertaruh kalau di dunia ini tidak ada orang yang mau pengalaman traumatisnya terbagikan tanpa consent.
Video seorang nakes yang belakangan ini viral sungguh ironi. Konten yang ia buat justru lebih terasa judgemental daripada edukatif. Membagikan cerita anak SMP yang mendapat tindak KS dengan embel-embel consent alih-alih grooming.
Untuk para nakes dan calon nakes di luar sana, setidaknya ada 3 alasan mengapa nakes harus berperspektif korban.
Setiap Pasien Adalah Manusia yang Berhak Diperlakukan Setara
Lagi-lagi soal kesetaraan. Saya rasa jika para nakes menganggap semua manusia itu setara, tidak perlu lagi kita mendengar ada nakes yang membuat sebuah konten atau membincangkan kasus pasiennya. Karena dari cara pandang yang setara inilah akan muncul rasa menghargai dan simpati yang tulus. Penghargaan yang akan membawa pada pelayanan berperspektif korban.
Nakes yang telah berperspektif korban akan berorientasi pada pelayanan yang mengedepankan kenyamanan pasiennya. Pelayanan seperti ini tentu akan berdampak pada psikologis pasien yang lebih positif dan dapat mempercepat kesembuhan (jika sakit fisik).
Fakta yang terjadi soal nakes yang membagikan kisah pasiennya dengan tambahan bumbu-bumbu cerita adalah potret cara pandang inferior dan judgemental. Ia merasa satu tingkat lebih mulia dari pasiennya sehingga merasa tidak berdosa membagikan pengalaman traumatis pasiennya ke publik.
Berperspektif Korban Selaras dengan Sumpah Jabatan Nakes
Berperspektif korban berarti memosisikan diri sebagai korban. Memosisikan diri di sini bukan berarti ikut larut dalam penderitaan pasien. Namun untuk ikut dapat merasakan pelayanan mana yang paling pas bagi pasien.
Dengan demikian, nakes akan faham mengenai hak, kebutuhan, dan pelayanan yang paling tepat bagi pasien. Hal ini akan mempermudah kerja nakes karena bersesuaian dengan sumpah jabatan nakes/dokter. Yakni senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
Perihal membagikan pengalaman pasien, saya rasa hal ini juga tertuang dalam sumpah jabatan dokter. Seorang nakes harus menjaga kerahasiaan soal pasiennya. Ada banyak cerita baik dari nakes di fasilitas kesehatan maupun biro psikologi yang kurang memahami aspek kerahasiaan pasien. Sehingga tak jarang, keputusan berobat justru membuat kita khawatir akan bocornya cerita personal.
Nakes yang berperspektif korban akan faham bahwa cerita personal apalagi korban KS, hanya boleh ia bagikan by consent, itupun harus dengan telaah yang tepat agar tidak turut menyumbang image buruk bagi korban KS.
Berperspektif Korban Berarti Turut Memutus Rantai TPKS
Bagaimana nakes ikut menyumbang image buruk bagi korban KS ?
Perlu kita ingat bahwa distribusi informasi di ruang digital sekarang ini sangatlah masif. Informasi alakadarnya tanpa telaah berpotensi menjadi bola liar yang dapat menabrak apapun. Hal ini diperparah dengan tingkat literasi masyarakat yang tergolong rendah, terlebih informasi tersebut bermuatan TPKS.
Hasil survey Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dengan Save The Children Indonesia terbaru menunjukkan masyarakat kita masih tabu membicarakan persoalan seksualitas. Oleh karena itu, nakes yang membuat konten bertajuk sex-edu dengan bahan pengalaman personal pasiennya harus benar-benar memastikan dan memberikan keterangan yang lengkap apakah itu tindak KS atau bukan.
Hal ini harus jelas, karena jika konten TPKS masih abu-abu justru akan menambah image buruk bagi korban KS. Tracing pasien atau siapa “bahan konten” ini akan sangat mudah dilakukan. Bagaimana jika kemudian para korban ini sudahlah dijadikan bahan konten, diketahui identitasnya dan kemudian mendapat diskriminasi/pengucilan dari masyarakat.
Maka jika terlanjur menjadi konten atau konten by consent, penting sekali untuk membangun konten berperspektif korban. Konten harus menjelaskan bahwa korban TPKS adalah “korban” yang dalam hal ini tidak salah dan tidak boleh kita salahkan. Edukasi TPKS harus mengarah pada korban adalah manusia yang setara dan berhak mendapat hidupnya kembali seperti semula.
Tindak diskriminasi dan pandangan sebelah mata yang selama ini marak tertuju pada korban KS sudah sepatutnya menemukan tempatnya, yakni para pelaku kekerasan seksual. Dengan demikian, masyarakat akan teredukasi dan perlahan menciptakan lingkungan yang ramah penyintas dan memberikan efek jera ke pelaku KS. Akhirnya, langkah ini akan memutus rantai panjang penanganan Tindak Kekerasan Seksual. []